Pada
malam yang panas itu, Nimas duduk di atas springbed murahan yang disana sini
per nya sudah tidak berfungsi lagi. Semilir angin yang keluar dari dari kipas
angin yang ada di salah satu kamar
losmen itu, menyibak rambut panjang Nimas
yang lepas terurai. Jarik yang kemarin
malam dipakainya untuk nyinden, sekarang
dipakainya untuk menutupi gunungan
yang meskipun sudah setengah abad masih mampu membuat kaum Adam ternganga
takjub meliriknya.
Disamping
Nimas, berbaring lemas seorang pria muda.
“Duhhh....kamu
hebat Tung. Terimakasih telah membuatku hepi malam ini.”
Anggukan
kecil dan senyum puas tersungging di bibir Tatung, nama pria muda itu.
***
“Wedyan...tambah
cantik aja mbak Nimas. Hei, tunggu dulu dong. Mau kemana mbak?” Tatung mencoba memegang
tangan Nimas, tapi tidak kena.
Nimas
hanya memandangi Tatung, tanpa menjawab pertanyaannya.
***
“Ibuk
kan sudah bilang to Le, jangan main-main sama sinden sundal itu. Kamu itu masih
bau kencur, belum tahu apa-apa.” Air mata ibuk mengalir deras.
Suprapti,
pacar Tatung hanya mengelus-ngelus perutnya. Tatapannya kosong.
“Anak
kita, mas.”
Tubuh
Tatung lemas, ringan, melayang ke atas. Di kamar nomor 12A itu dilihatnya
seorang laki-laki muda dengan lidah menjulur keluar, tergantung oleh seutas jarik. Disekitar kamar tersebut ditemukan
kembang tujuh rupa, kemenyan, dan Fiesta.
Saya Arif Wibowo, lamat-lamat terdengar suara kelenengan gamelan....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar