Terus
terang saya bukanlah pendaki yang expert. Saya tidak menguasai ilmu
perkompasan, makanya saya tidak pernah diajak rembugan untuk menentukan arah
mana yang akan dilalui. Saya tidak
menguasai jalur pendakian, dalam arti kata saya hanya mengikuti kemana
teman-teman perjalanan saya melangkah. Saya sudah sangat
mempercayai teman-teman perjalanan saya. Mereka adalah para petualang sejati. Mari
kita lihat CV mereka :
·
Jabrix, senior Trupala, alumni Rinjani,
Semeru, Gunung Gede, Gunung Agung.
·
Wongli, senior di perkumpulan pencinta alam
Kota Batu, anggota SAR Batu.
·
Andi Padang dengan tubuh yang atletis, kuat ,
baik hati, suka menolong, paling junior, mau diperintah-perintah.
Cerita
ini hanya sepenggal pengalaman saya mendaki Gunung Argopuro......long time ago.
Jumat,
sekitar jam tujuh malam suasana Terminal Arjosari Malang masih kelihatan ramai.
Lalu lalang orang-orang yang turun dari bis maupun yang naik bis silih berganti. Para calo, sopir
taxi, pedagang asongan, penjual koran, pengamen dan pengemis ikut meramaikan
suasana malam itu. Suara awak bis saling bersahutan menyebutkan nama-nama kota
dengan seenaknya saja.
“Ruan, ruan..linggo linggo,...mau ke Bromo mas,
ini bis terakhir ke Linggo mas” kata
seorang kenek bis kepada kami berempat. Kenek bis tersebut pastilah mengira
kami mau pergi ke Bromo, karena dia melihat tas ransel keren yang nyantol di
masing-masing punggung kami. Sebenarnya malam itu kami berempat yaitu saya,
Jabrix, Wongli, dan Andi Padang akan ke Gunung Argopuro yang terletak di
perbatasan antara Probolinggo dan Situbondo. Terus terang belum ada salah satu
dari kami yang pernah ke Gunung Argopuro. Informasi rute ke Gunung Argopuro
hanya didapat dari cerita teman-teman yang pernah kesana, itupun gak lengkap.
“Oh
mau ke Argopuro, naik bis ini nanti turun di terminal Probolinggo,” kata kenek
tersebut. Kami pun segera naik bis Akas jurusan
Malang-Probolinggo tersebut. Terlihat tempat duduk hampir penuh, segera saja
kami mengambil posisi dibelakang sendiri. Supaya sekaliyan bisa mengawasi
ransel-ransel yang kita taruh dibelakang tempat duduk. Setelah bis terisi
penuh, berangkatlah bis tersebut meninggalkan Terminal Arjosari Malang menuju
Probolinggo.
Sekitar
jam sepuluh malam tibalah kita di
terminal Bayuangga Probolinggo. Terminal tersebut kecil dan sepi, ada satu dua
orang lagi ngobrol di lobi terminal, mungkin mereka pedagang asongan yang tidur
disitu. Dan sepertinya sudah tidak ada lagi bis yang singgah ke terminal pada
jam segitu.
“Numpang
nanya pak, kalau mau ke Bremi naik apa ya pak?” tanya Jabrix kepada seorang
bapak yang sedang istirahat di lobi
terminal.
“Jam
segini sudah gak ada bis yang ke Bremi nak, baru ada besok jam enam pagi. Itupun
berangkatnya dari terminal lama, bukan dari sini nak. Tujuan anak mau kemana?”
jawab bapak itu.
“Mau
ke Gunung Argopuro pak, naiknya dari Bremi pak. Maaf pak kalau ke terminal lama
naik apa ya pak?” sahut Andi Padang.
“Naik
ojek aja nak, mereka pasti tau kok. Oh iya nak, kalau mau sowan ke Dewi
Rengganis harap hati-hati ya....,” kata bapak itu lirih.
“Ok
pak, terimkasih pak..” jawab kita berempat hampir bersamaan.
Kebetulan
sekali didekat terminal lama tersebut yang telah menjadi poolnya bis Akas ada
sebuah penginapan yang bernama Bromo Indah. Lumayanlah kalau hanya untuk tidur
semalam saja.
Jam
lima pagi kita telah bangun dan segera bersiap-siap untuk berangkat ke Bremi.
Pendakian
Gunung Argopuro dimulai dari Desa Bremi , Kecamatan Krucil, Kabupaten
Probolinggo. Ketika memasuki jalur pendakian Bremi ini kita akan disuguhi
lebatnya hutan Argopuro. Seperti biasa saya berada di barisan tengah, dan yang
membuka jalan adalah Andi Padang. Dengan gagah beraninya dia melaju cepat jauh
meninggalkan kita. Tandem yang cocok bagi Andi adalah Wongli. Keduanya
sama-sama mempunyai enerji yang berlebih. Saya dan Jabrix berjalan bak mobil
1000cc, pelan tapi pasti. Sering berhenti untuk menghilangkan dahaga. Syukurlah
sebelum sore menjelang kita sampai di danau yang bernama Danau Taman Idup. Disini
kita berjumpa dengan teman-teman sesama pendaki dari daerah lain. Setelah
berbasa-basi sebentar dan mengisi air, kita melanjutkan perjalanan ke etape
berikutnya. Sebenarnya saya agak takut berlama-lama dipinggir danau tersebut,
apalagi hati sudah mulai senja. Saya takut berebutan air dengan mahluk lain
selain kita, contohnya babi hutan, kancil, rusa, srigala, macan, dan
mahluk-mahluk lainnya.
Jalur
Argopuro menurut saya merupakan jalur yang panjang melewati beberapa bukit,
puncak Argopuro juga tidak seperti gunung-gunung yang lain, puncak Argopuro
tidak terlihat dari bawah. Beberapa kali kita hampir putus asa karena salah
dalam memperkirakan puncaknya.
Setelah
berjalan seharian, rasa lapar dan ngantuk berbaur dengan capek memaksa kita
untuk beristirahat. Pada saat itu kita tidak sempat untuk mendirikan tenda lagi,
kita gelar saja ponco sebagai alas dan sleeping bag sebagai tempat tidur,
terlelaplah kita memasuki alam tidur.
Keesokan
harinya baru kita sadar, bahwa kita tidur diatas semak-semak yang merupakan
bekas tempat bermainnya macan, karena ada bekas tapak macannya.
Hiiii....atutttttt....
Wongli
dan Andi, sebagai pendaki yang bertanggungjawab, akan menyediakan sarapan bagi
kita berempat. Dengan menu mi instan, kornet, telor. Menu tersebut adalah menu
biasa bahkan kita jarang sarapan menu tersebut kalau dalam keadaan normal. Tapi
pada saat itu, menu tersebut superduper istimewa. Ajiib bin lazizzzzzz bin
makyusssss dan juarahhhh.....
Perjalanan
pun dilanjutkan tanpa tahu puncaknya ada dimana. Kita melewati semak belukar
yang tinggi, ilalang, hutan dengan pohon yang tinggi. Kita akan bertemu dengan
mata air yang bernama Aengkenik.
Setelah
melewati beberapa sabana dan Rawa Embik, yang merupakan sabana terakhir maka
kita akan mencapai puncaknya.
Puncak
Gunung Argopuro terkenal sebagai petilasan Dewi Rengganis. Saya kurang tahu
siapa itu Dewi Rengganis. Disekitar petilasan tersebut terdapat bekas-bekas
sesajen. Saya berpikir hebat bener orang yang naruh sesajen ini, jauh-jauh
hanya mau naruh sesajen tersebut.
Yang agak kurang ajar adalah Wongli, setelah
dia ganti baju dalam dan baju luar, tanpa rasa takut CD bekasnya dia lempar ke
bawah. Bocah ini emang bener-bener gak kenal mitos. Hidupnya penuh syariah.
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar