“Aku
dan Wongli jalan duluan ya. Nanti kita ketemu di Aengkenik, tak bikinkan makan
siang yang canggih deh pokoknya.” Kata Andi Padang.
Dalam
perjalanan pulang , tim dibagi dua. Wongli berpartner dengan Andi, karena
keduanya mempunyai kesamaan yaitu tidak bisa jalan pelan. Sedangkan saya dengan
terpaksa harus menemani Jabrix yang hobinya potret sana potret sini. Untungnya dari
100 objek poto yang diambil oleh Jabrix, wajah maupun bagian dari tubuh saya turut
serta memperindah 98 poto tersebut. Kalau kata orang sih potogenik. Yang dua
poto hasilnya adalah hitam legam, terbakar.
“Cil,
emang kemarin lewat sini ya?”
“Ya
iya lah, kan lewat padang savana ini kan. Nanti kita akan ketemu Aengkenik, Brix.”
“Ehmmm...sebentar
deh.”
Diatas
rumput yang agak rata, Jabrix membuka peta kontur Gunung Argopuro dan
dikeluarkanlah kompas kecil dari saku celana gunungnya.
“Cil..jangan
panik ya, kita hitung amunisi Cil.”
Seketika
itu juga diatas kepala saya seperti ada babel yang berisi adegan film yang
menampilkan beberapa laki-laki dengan seragam warna orange, dibawah rimbunnya pohon
yang disiram derasnya air hujan, sedang membawa
HT sibuk melakukan kontak dengan sesama teman mereka juga.
Segera
saja saya dan Jabrix menginventarisir logistik yang masih tersisa. Empat
bungkus mi instan, setengah kantong kecil permen, tiga botol air, setengah
batang coklat, dua batang parafin.
“Wongli
sama Andi gimana Brix?”
“Sambil
jalan kita panggil-panggil mereka saja Cil.”
“Kita
jalan kearah mana ni Brix?”
“Kalau
kita mbalik lagi, kejauhan Cil. Belum tentu juga nemu jalur yang kemarin.”
Saya
pasrah saja, ikut jalur nya Jabrix.
Baru
kali ini dalam sejarah pendakian saya, mengalami gagal fokus jalan pulang. Ada
beberapa kemungkinan yang membuat saya dan Jabrik gagal fokus jalan pulang,
mungkin karena keasyikan ambil poto-poto, bisa juga karena ulah Wongli yang
melempar CD. Ahh..sudahlah.
“Liii..Wongliii....Andiiii...Liii....
Andiii....,” sepanjang perjalanan pulang , bergantian kita memanggil mereka. Sebenarnya
adalah sesuatu yang sia-sia memanggil nama mereka berdua. Sepengetahuan saya,
mereka berdua adalah jagoan gunung. Tidak masuk akal lah kalau mereka berdua
ikutan tersesat seperti kita.
“Brix,
ada air tuh.”
Di
sebuah batang pohon dipinggir jurang terdapat tanda panah yang arahnya menunjuk
ke bawah, bertuliskan Mata Air.
“Elu
tunggu sini ya Cil, gue mau turun ke bawah.”
Tiba-tiba
dari arah bawah muncullah dua pendaki.
“Woi!!!
Ngapain turun, gak ada air...”
Sepertinya
suara nya kenal nih. Jreng, jreng...Dua kepala pemilik suara tersebut sedikit
demi sedikit mulai terlihat utuh. Dan terlihatlah Andi yang membawa botol
kosong, dan Wongli yang membawa bulu burung merak.
Kita
berempat tertawa, ternyata semuanya mengalami gagal fokus jalan pulang.
“Ini
gara-gara elu nglempar CD sembarangan Li, kita semua kena getahnya.” Kata Jabrix.
Senja
mulai turun, dari kejauhan lamat-lamat terdengar suara adzan Maghrib. Tiba-tiba
semerbak kemenyan menggelitik indra penciuman kita. Dalam diam kita berjalan,
mulut komat-kamit melafalkan doa-doa sebisanya.
“Sopo
sehh ki sing nyumet menyan” kata Wongli.
Wakakakak..dasar
bocah gemblung.
Gara-gara
ucapan Wongli itu, bau kemenyan tersebut hilang dengan sendirinya. Mungkin
mahluk yang menyalakan kemenyan tersebut malu, karena ternyata triknya tidak
bisa membikin kita keder.
Sampai
jam dua belas malam, dengan diterangi sinar bulan dan senter yang byar pet
kehabisan energi baterai, kita masih terus berjalan mengikuti jalan setapak. Disebelah
kiri dan kanan kita adalah jurang. Kadang-kadang babi hutan tanpa permisi lari
disamping kita. Tidak ada tempat bagi kita untuk beristirahat dengan mendirikan
tenda.
Suara
gemuruh air tepat di depan kita.
“Yo
po ki, sepertinya air terjun didepan kita.” Kata saya setengah putus asa.
“Gue
lihat dulu deh. Ayo Li, kebawah.” Ajak Jabrix.
Andi
terduduk diam, mungkin dia capek mungkin juga takut. Sama seperti saya. Dua
tiga jam lagi, akan masuk hari Senin. Bisa dipastikan kami berempat akan
membolos kerja. Akan sangat aneh sekali ketika kita menulis surat ijin tidak
masuk dengan alasan tersesat di gunung. Itupun kalau kita bisa menemukan jalan
pulang. La kalau kita tidak bisa menemukan jalan pulang? Mungkin akan jadi
headline dengan judul Empat PNS Hilang di Argopuro. Lucu juga ya.
“Cil..turun
Cil...ada jalan makadam nih...” teriak Jabrix.
***
Dini
hari itu, kami berempat tidur disebuah bangunan kosong dipinggir jalan makadam
sebuah desa, persetan dengan nyamuk, tak perduli bau menyan, tak perduli dengan Dewi Rengganis. Capek, ngantuk.
Saya Arif Wibowo, bukan Dewi Rengganis....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar