“Aku sisir sebelah kiri, kamu
sebelah kanan, Set,” kata Selbi.
“Baik,” jawab Setyo.
Sudah mulai habis dhuhur tadi, dua orang tersebut terlihat mondar-mandir di sekitar perumahan Cempaka
Puri. Orang yang berkata pertama perawakannya gemuk, berkaca mata tebal,
potongan rambutnya cepak, memakai sepatu pantopel hitam mengkilap dan berjaket
kulit hitam pas dengan warna kulit tubuhnya. Bola matanya bergerak kesana
kemari, menyapu tiap sudut perumahan.
Sedang orang yang kedua,
gaya bicaranya lebih santai, berambut ikal, kulitnya sedikit lebih putih
dibanding orang yang pertama tadi.
Mereka berjalan dari ujung
gang pertama, kedua, dan seterusnya. Diperhatikannya tiap rumah yang dilewati
dengan teliti. Sesekali mereka menuliskan sesuatu di buku agenda yang mereka
bawa.
“Rudi Salim, Gang Salak
Nomor 23 ya...?” tanya Setyo.
“Di
Surat Perintahnya nya tertulis begitu,” jawab Selbi.
Mereka
berhenti di depan sebuah rumah besar bercat abu-abu yang sudah mulai pudar.
Pintu dan jendela tertutup semua. Tidak terlihat ada aktivitas di rumah tersebut.
“Sel,
kamu cek bagian belakang. Mungkin ada aktivitas di bagian belakang rumah. Aku
coba masuk dari depan.”
“Siap!”
Dengan sigap Selbi melangkahkan kakinya menuju belakang rumah.
Kemudian
Setyo memencet bel yang ada di depan pintu pagar rumah.
Ting
tong..ting tong..ting tong....
Tiga
kali Setyo memencet bel rumah tersebut, tapi tidak ada respon dari penghuni
rumah.
Kepala
Setyo clingak-clinguk melongok mengintip dari balik jeruji pagar.
“Nyari
Pak Rudi, Mas?”
“Eh
copot, eh copot, eh copooottt.....”
Tubuh
Setyo tersentak 30 cm dari permukaan tanah, degup jantungnya berdetak bak
sprinter, mukanya merah merona.
“Waduh
bapak ini mbikin kaget saya saja.”
“He
he he..maaf mas. Kalau mau ketemu Pak Rudi, malam saja mas. Kalau siang Pak
Rudi pasti gak ada di rumah.”
“Ke
mana pak?”
“Ndak
tahu saya mas. Oh ya, hati-hati dengan Karla dan Karlo. Biasanya sih kalau
siang ada di belakang rumah.”
“Putra
Pak Rudi?”
“Doberman.”
Kata bapak itu, sambil berlalu dari hadapan Setyo.
Setyo
bergumam lirih, matanya dipicingkan keatas, tangan kanannya mengelus – elus dagu
yang gak ada jenggotnya, “Dibelakang...Doberman....Selbiiii!!!”
Setyo
pun secepat kilat melangkahkan kakinya menuju belakang rumah, mulutnya
berkomat-kamit “Summum bukmun ngumyum fahum laayarji’uun.” Berulang kali dia
melafalkan ayat tersebut.
Terlambat.....
Mulut
Karla menggigit sepatu pantalon mengkilap sebelah kanan, Karlo menggigit sepatu
pantalon mengkilap sebelah kiri. Terlihat juga sobekan-sobekan kulit warna hitam
dan kain biru dongker.
Entah
kemana Selbi menyelamatkan diri.....
Saya
Arif Wibowo, saya dedikasikan untuk para
petugas yang berjiwa militan seperti kamu..ya kamyu...”Yunohu”
( Flash Fiksi 370 kata )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar