![]() |
rimpi karuniasti's doc. |
Tinnn..tinnnnn...tiiiinnn.....rrroonggg..rrronnggg..
“Wuaduh,
sabar po o sih Cak!” gerutu Cak Bungkring, kepada seorang pengendara motor yang
seenak udelnya menyalib becak Cak Bungkring yang sedang ditumpangi dua
perempuan gemuk dan seorang anak laki-laki gemuk juga.
Priiitt,
prriitttt....
Suara
peluit tukang parkir saling bersahutan, berebutan menawarkan lahan parkirnya
kepada setiap pengendara motor yang lewat Pasar Turen.
Disebelah
Barat pasar, para bakul ayam kampung dan bebek rame melakukan transaksi jual
beli dengan pelanggannya.
Bedak
penjual daging sapi, ayam potong, baju, buah-buahan, belanja dapur, kue-kue,
dan kebutuhan lainnya hari itu penuh sesak diserbu para pembeli.
“Bu
ne, tak tunggu sini yo?” kata Bapak.
“Iyo
Pak, aku sama Thole tak ke Tiga Putra.”
Saya
digandeng Sibu menyeberangi jalan menuju Toko Emas Tiga Putra dan Bapak
menunggu di seberang jalan sambil duduk diatas sepeda motornya.
“Mau
jual atau beli bu?” tanya mbak-mbak pelayan Tiga Putra sesampainya Sibu di toko
tersebut..
“Jual
mbak, harga emas 23 sekarang berapa mbak?”
“Harganya
sekarang turun bu, dipotong lima belas ribu per gram nya lo bu.”
Saya lihat Sibu masih tawar menawar dengan mbak-mbak pelayan Tiga Putra. Sepertinya
Sibu kecewa dengan harga jual emas yang turun dan masih dipotong lagi. Saya
tahu uang penjualan emas tersebut sangat dibutuhkan oleh Sibu, untuk persiapan
lebaran besok
Dari
jauh saya dengar ada anak kecil menangis, lama kelamaan suara tangis anak kecil
tersebut semakin dekat. Saya lihat seorang gadis kecil, kira-kira seumuran anak
TK Nol Kecil, sedang digandeng tukang parkir.
“Anak
e sopo iku Cak?”
“La
iki lagi nggoleki pak e mbok e, Cak.”
Orang-orang
mulai berkerumun mengitari gadis kecil tersebut. Ada yang mencoba menanyai
keberadaan orang tua gadis kecil tersebut. Tetapi tangis gadis kecil tersebut
malah semakin banter.
“Di
halo-halo ae pak. Nanti kan orang tua nya bisa dengar.” Usul seorang ibu.
“Ya
kalau di Ramayana atau Matahari bu, la ini di pasar mosok ada halo-halonya.”
“Kok
rame-rame ono opo Le?” tanya Sibu kepada saya. Saya lihat raut muka Sibu agak
cerah, sepertinya cincin Sibu satu-satunya dihargai sesuai harga yang Sibu
minta.
“Ada
anak hilang Bu, yang digandeng tukang parkir itu.”
“Orang
tua sembrono, mosok anak anak sekecil itu dibiarkan sendirian.”
“Yo
wis ayo kita ke Bapakmu Le.” Lanjut Sibu. Saya digandeng Sibu berjalan
melintasi kerumunan orang-orang tersebut.
“Pak
e...pak eee.....” Tiba-tiba gadis kecil itu berlari ke arah laki-laki setengah
baya, berkopiah hitam tinggi, berbaju koko putih, dan bersarung kotak-kotak
hitam.
“La
iku bapak e, nyang ndi ae sih pak?”
“Sepurane
cak, maaf bapak-bapak, maaf sudah ngrepoti. Terimakasih atas bantuannya.”
“Lain
kali hati-hati pak, untung gak diculik orang, anaknya Pak.”
Kerumunan
orang-orang tersebut sedikit demi sedikit mulai bubar. Mereka kembali ke
aktivitasnya semula.
“Piye
Bu ne, laku berapa cincin e?” tanya Bapak.
“Alhamdulillah,
laku lumayan Pak ne. Bisa buat beli bajunya Thole.”
Saya
tersenyum mendengar kata-kata Sibu.
“Ini
Pak uang.....Astaghfirullah....Pak ne....Pak ne.....uang cincin ku Pak ne.....uang
cincin ku Pak ne.”
Saya lihat air mata Sibu deras mengalir, dan Bapak berulang kali mengucapkan
Astaghfirullah.
Saya
tertunduk, besok sholat Ied di Masjid Al Azhar masih memakai baju lebaran dua tahun
yang lalu, yang sudah kekecilan.
Saya Arif Wibowo, cerpen <500 kata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar