“Bapak
kemana Buk? Tetangga-tetangga kalau ketemu saya pasti pada nanyakan Bapak.” Kata
Mas Aryo, kakak saya.
“Ya
jawab saja, Bapak lagi tugas ke luar kota.”
Saat ini Bapak adalah karyawan perusahaan jamu tradisonal di kota Malang. Tugasnya
di perusahaan tersebut adalah memasarkan jamu ke warung-warung di wilayah Jawa
Timur. Sudah lebih dari dua minggu Bapak belum pulang ke rumah.
Seingat
saya Bapak sudah tiga kali berganti profesi. Yang pertama adalah tukang cukur
keliling, belum setahun sudah berhenti jadi tukang cukur karena sepi. Yang
kedua ikut rombongan ludruk keliling. Agak lama Bapak ikut ludruk tersebut, keluar dari ludruk tersebut
karena Bapak tidak sependapat dengan Pak Surat, pimpinan ludruk keliling itu.
Dan yang ketiga adalah sekarang ini.
***
Akhir-akhir
ini situasi di kampung kami lagi panas. Sebulan yang lalu, seorang Kyai yang
sangat dihormati di kampung kami, Gus Joned, di culik oleh gerombolan orang tak
di kenal pada saat beliau akan berangkat sholat Subuh di surau dekat rumah
beliau. Sampai sekarang keberadaan Pak Kyai tersebut belum diketemukan.
Dan
dua minggu yang lalu, Pak Jatiman, teman Bapak di perusahaan jamu di Malang,
ditemukan meninggal dunia di tengah-tengah hutan jati. Pak Jatiman sering
mengumpulkan para petani di kampung kami dan para karyawan teman-temannya Pak
Jatiman, termasuk Bapak, untuk diberikan pengarahan. Saya pernah melihat
pengarahan Pak Jatiman di Balai Desa. Saya lihat Bapak dan teman-teman Bapak
yang lain pada rokokan, tidak memperhatikan apa yang di omongkan Pak Jatiman.
Saya sendiri juga tidak tahu apa yang diomongkan Pak Jatiman. DI akhir acara
orang-orang pada menyanyikan Genjer-Genjer.
Sehabis
Maghrib, keadaan di kampung kami seperti kampung mati. Sebagian besar
bapak-bapak dan laki-laki dewasa pergi meninggalkan rumah. Katanya sih ronda.
Pada
suatu malam,
“Tok,
tok, tokkk.”
“Kus...Kusno...Kus....Buka
Kus!”
Kami
bertiga gemetaran mendengar ada orang mengetok rumah kami dan memanggil-manggil
nama Bapak.
Dengan
memberanikan diri, Ibuk membuka pintu rumah.
“Pak
Kusno belum pulang, Pak.”
Tanpa
banyak bicara, dua orang laki-laki dewasa masuk rumah kami. Matanya tajam
mengawasi setiap sudut ruangan. Dimasukinya dua kamar tidur, kamar mandi,
dapur. Dan memang itu ruangan yang ada di rumah kami. Mereka tidak menemukan
Bapak.
“Awas
jangan bohong, rumah ini sudah kami awasi!”
Merekapun
pergi ditelan gelapnya malam.
***
Dimatikannya
lampu teplok yang ada di ruang tamu, Ibuk membawa kami ke kamar mandi.
“Ssst..diam
ya.” Kata Ibuk.
Saya
dan Mas Aryo terkejut bercampur senang. Kalau saja Ibuk tidak menutup mulut
kami, hampir saja kita berdua berteriak kegirangan. Dengan hati-hati Bapak
turun dari blandar yang ada diatas kamar mandi. Wajahnya terlihat capek,
tubuhnya agak kurusan, kulitnya lebih hitam dari biasanya. Bapak tidak banyak
bicara. Di peluknya kami satu persatu.
“Bapak
tidak punya banyak waktu. Mulai hari ini jangan mengharap bapakmu pulang lagi.
Anggap saja sudah tidak ada.”
“Buk,
ini ada sedikit uang. Aryo, jaga Ibukmu dan adikmu. Apapun yang terjadi, kalian
harus berusaha tetap sekolah.”
Setelah
Bapak berkata begitu, Ibuk membawa kami ke kamar tidur. Kami tidak tahu Bapak
keluar rumah lewat mana.
***
Tiga
puluh tahun setelah kejadian itu, Mas Aryo telah menjadi seorang Kepala Sekolah
SMP swasta terkenal di Ponorogo, dan saya telah menjadi seorang konsultan pajak
di Surabaya. Dan Ibuk tinggal di Ngantang Batu, sambil mengasuh beberapa anak
yatim piatu.
Saya
Arif Wibowo, adaptasi dari cerita seorang teman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar