Rumekso terlahir dari pasangan Darmaji dan Sriatun. Mereka tinggal di tanah kosong milik PT.KAI dipinggir rel kereta api.
Rumekso terlahir dengan kondisi tidak seperti
anak-anak kebanyakan. Kepala besar, mulut melongo, mata sipit, telinga
kecil, mukanya datar.
Bidan yang membantu kelahirannya memberi nama Rumekso. Yang berarti menjaga, utamanya adalah menjaga dirinya sendiri.
Darmaji, ayahnya yang sering nglakoni mo limo
yaitu main judi, mabuk, maling, madat, madon ( main perempuan ) sudah
meninggalkan Rumekso pada saat Rumekso masih berumur tiga tahun.
Pada waktu itu, ayahnya beralasan mau mencari
uang untuk biaya pengobatan Rumekso. Tapi sampai saat ini Darmaji tidak
pernah kembali lagi ke Sriatun dan Rumekso.
Sepeninggal ayahnya, Rumekso diasuh sendirian
oleh simboknya. Simboknya melakukan segala pekerjaan yang bisa
menghasilkan uang untuk menghidupi mereka berdua.
“Le, kamu di rumah ya. Simbok mau berangkat
kerja, ada langganan sopir truk yang mau pijet sama simbok. Kalau kamu
laper, nasi sama tempe ada diatas meja itu. Doakan malam ini simbok
dapet ceperan banyak ya le…,” Sriatun pun meninggalkan Rumekso sendirian
di gubuk pinggir rel kereta api itu, menembus gelapnya malam untuk
menyongsong harapan.
Sehari-hari Rumekso tinggal di gubuk itu
bersama simboknya. Rumekso tidak pernah bergaul dengan anak-anak di
lingkungan tersebut, karena selalu jadi bahan ejekan mereka. Rumekso
juga tidak sekolah. Karena SD Negeri yang paling dekat dengan lingkungan
tersebut tidak mau menerima
Rumekso dengan alasan bahwa SD Negeri
tersebut tidak untuk anak-anak debil.
Kegiatan yang paling disukai Rumekso adalah
memukul-mukulkan tangannya pada batang pohon kersen yang ada disamping
gubuk kecilnya. Bisa sampai berjam-jam Rumekso melakukan hal tersebut.
Seminggu lagi, usia Rumekso genap tiga belas
tahun. Tubuh Rumekso mulai bertambah besar dan kekar. Tapi kelakuan dan
mentalnya masih seperti anak balita. Dan simboknya, Sriatun masih dengan
tulus ikhlas merawat Rumekso.
Pada suatu malam, Sriatun pulang kerja dengan
diantar oleh seorang laki-laki paruh baya yang berjalan sempoyongan
karena terlalu banyak minum ciu bekonang.
“Ssstt, le…iku bapakmu. Tulung sampeyan tidur bawah ya, biar dipan itu dipakai bapakmu,”
Rumekso tanpa banyak bicara menuruti perintah
simboknya. Raut muka Rumekso datar tanpa ekspresi melihat kedatangan
laki-laki yang kata simboknya adalah bapaknya, Darmaji.
“Wah kamu le, sudah besar ya sekarang. Sudah
bisa ngewangi bapakmu kerja ya le. Besok tak ajari cari uang le,” kata
Darmaji kepada Rumekso sambil menghembuskan asap rokok kreteknya. Asap
rokok tersebut membuat ruangan sempit itu menjadi tambah sumpek, pengap.
“Mau dibawa kemana pak?!..biar aku saja yang kerja. Kasihan Rumekso kalau diajak kerja yang gak bener!”
“Aku mau ajari dia cari uang bu ne, banyak anak-anak lingkungan sini seusia Rumekso yang juga cari uang,”
“Tapi anak-anak itu kan normal, bisa jaga diri mereka. Sedangkan Rumekso?”
“Justru dengan ketidaknormalan Rumekso itu
orang-orang akan kasihan kepada dia, dan ujung-ujungnya adalah akan
banyak uang yang diterima Rumekso,” kata Darmaji dengan senyuman
iblisnya.
Pagi hari setelah sarapan pohong godog dan
segelas teh dingin, Rumekso diajak bapaknya menuju sebuah perempatan
jalan yang terdapat lampu lalu lintas. Pada saat lampu lalu lintas warna
merah menyala, Rumekso segera menegadahkan tangannya kepada para
pengendara motor maupun mobil.
Banyak pengendara motor dan mobil yang
iba melihat kondisi Rumekso sehingga mereka tak segan untuk memberikan
uang kepada Rumekso.
Pada saat lampu hijau menyala, Rumekso
minggir dan beristirahat di bawah baliho besar yang bergambar seorang
laki-laki berkopiah dengan tulisan COBLOS NOMOR XX, CALEG YANG PEDULI,
JUJUR, AMANAH, FATHONAH, DAN LAIN SEBAGAINYA.
Dari kejauhan, Darmaji memperhatikan keadaan Rumekso. Senyumnya terkembang ketika melihat Rumekso mendapatkan banyak uang receh.
Tapi pada saat Rumekso terlihat capek dan
ogah-ogahan untuk meminta uang kepada pengendara mobil dan motor, tak
segan-segan Darmaji membentak dan memukul kepala Rumekso agar kembali
bekerja.
Sore harinya, uang yang terkumpul tersebut
diambil oleh Darmaji. Rumekso dibiarkan pulang sendirian, dan uang
tersebut digunakan oleh Darmaji untuk foya-foya.
Larut malam, Darmaji pulang dengan wajah yang lusuh, mulut berbau ciu sambil bicara gak karuan.
Sebenarnya Sriatun tidak rela Rumekso diperlakukan demikian, tapi Sriatun takut kepada Darmaji.
Sudah hampir seminggu Darmaji tinggal bareng dengan Sriatun dan Rumekso.
“Besok hari ulang tahunnya Rumekso,pak ne.
Aku besok mau masak istimewa buat kita. Aku harap besok Rumekso bisa
libur sehari dulu,” dengan berhati-hati Sriatun berkata kepada Darmaji,
suaminya.
“Wah, besok hari Senin itu ramai-ramainya jalan bu. Sayang kalau sampai kita lewatkan,” jawab Darmaji.
“Aku mohon pak ne…sekali setahun saja pak ne, kasihan Rumekso,” pinta Sriatun dengan wajah melas.
Rumekso hanya melihat saja percakapan simbok dan bapaknya, tanpa terlihat ekspresi apaun dari wajahnya.
“Yo wis, besok pagi Rumekso libur dulu. Jam sepuluh Rumekso harus kerja lagi!” kata Darmaji dengan angkuhnya.
Malam itu Sriatun terlihat sibuk sendirian.
Dia memasak makanan kesukaan Rumekso, yaitu sate kere. Tahu gembus yang
di tusuk seperti sate, dikasih bumbu sate dan dibakar seperti sate.
Sriatun juga menyiapkan baju yang terbaik yang dipunyai oleh Rumekso.
Jam tujuh pagi, tanggal sembilan April, bertepatan dengan ulan tahun Rumekso yang ke tiga belas, terlihat
Sriatun dan Rumekso menaiki kereta api jurusan Malang – Surabaya.
“Tadi pagi, sekitar jam sembilan pagi
tangggal tujuh Juli dua ribu tujuh, polisi telah menemukan jasad seorang
laki-laki. Dari keterangan polisi, diketahui mayat laki-laki tersebut
adalah seorang residivis berbahaya yang bernama Darmaji dengan julukan
Raja Tega. Polisi mensinyalir kematian
Darmaji karena bunuh diri, karena
disekitar tempat tidurnya ditemukan banyak botol obat nyamuk,”
sayup-sayup Sriatun mendengar siaran berita dari radio yang dibawa oleh
salah seorang penumpang.
***
Terlihat Rumekso diperempatan lampu merah
sedang meminta-minta uang kepada para pengendar motor dan mobil.
Wajahnya yang mongoloid mengundang iba.
Dan Sriatun mengawasi anaknya dari bawah
spanduk caleg yang bertuliskan COBLOS NOMOR XX, CALEG YANG PEDULI,
JUJUR, AMANAH, FATHONAH, DAN LAIN SEBAGAINYA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar