“Jo, kamu
bergerak dari sebelah kanan. Aku mau mengalihkan perhatian si penjaga.
Hati-hati ya.” Kata saya.
Kami pun
berpencar. Bejo dengan merunduk dan berjingkat-jingkat melangkahkan kakinya.
Berusaha agar langkahnya tidak terdengar oleh si penjaga. Sesekali Bejo
berhenti dibalik meja, mengambil napas panjang dan juga waspada agar
kedatangannya tidak diketahui si penjaga.
Saya arahkan
pandangan mata ke segenap penjuru ruangan. Pupil mata saya membesar,
beradaptasi dengan ruangan yang gelap.
“Sepertinya
aman nih, tidak terlihat si penjaga ruangan ini.” Pikir saya dalam hati.
Tapi seperti
kata pelatih kami, dalam situasi apapun kami tetap harus waspada jangan sampai
lengah. Apalagi dalam operasi intelejen seperti ini, tidak ada kata gagal.
Gagal berarti mati.
Saya masih
harus memastikan bahwa situasi benar-benar aman, sehingga saya dan Bejo bisa
melaksanakan tugas ini dengan tuntas.
Kembali saya
bergerak, melihat-lihat situasi, mengamati.
“Jo,
bagaimana keadaan disitu?” Tanya saya melalui radio komunikasi.
“Aman, nDan.
Tidak terlihat adanya gerakan-gerakan dari si penjaga. Kita bergerak sekarang,
nDan?”
“Tunggu
komando saya Jo, jangan bergerak sendirian.”
Saya dan Bejo
baru kali ini berada dalam satu tim. Bejo dimasukkan satu tim dengan saya,
karena teman satu tim saya yang dulu meninggal pada waktu melaksanakan tugas
dengan saya. Saya sebenarnya menolak satu tim dengan Bejo, karena Bejo anak
kemarin sore belum punya banyak pengalaman. Saya malas karena harus membelajari
Bejo. Tapi karena ini perintah pimpinan, mau tak mau harus saya laksanakan.
Saya dan Bejo
telah mempelajari situasi dan kondisi tempat ini. Kita juga telah mengamati
kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan si penjaga.
“Jo, satu
menit lagi kamu masuk ruangan itu. Ambil barang itu secepatnya.”
“Siap,
Komandan.”
Gubrak!
Ia menatapku lurus dengan mata
hijaunya. Oh, tidak! Apa yang sudah kulakukan?
“Jo, lari
Jo....jangan hiraukan aku. Bawa lembaran uang itu ke juragan Kadi.”
Swing..swinggg...
Cakar-cakar
yang tajam dari si penjaga itu berkelebat diatas kepala saya yang gundul
plontos. Saya berlari ke sudut ruangan. Si penjaga bersiap-siap menerkam saya. Suaranya menggeram, memperlihatkan gigi dan taring yang runcing.
"Manis....malam-malam kok gedombrangan, ada apa?" Seorang perempuan setengah baya masuk ke ruangan. Diambilnya si penjaga, dan di gendongnya.
"Ngejar tikus? Biar saja, besok aku suruh Pak Huri untuk pasang perangkap tikus."
Tatapan mata si penjaga tersebut masih lurus ke arah saya, suaranya masih menggeram.
"Pyuhhhhh....untung perempuan tersebut tidak bisa melihat saya, andaikan bisa melihat, matilah saya."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar