Malam itu hujan turun sangat derasnya. Petirpun berkelebat sinarnya menembus pekatnya malam nan dingin. Tidak ada satu rumah pun di kampung itu, yang pintu maupun jendelanya terbuka. Semua penduduk di kampung itu mengunci rapat-rapat pintu rumah mereka, sambil memanjatkan doa supaya tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada keluarga mereka.
Kampung itu bernama Njeru. Terletak di tengah hutan jati milik Perhutani. Hanya ada lima belas rumah yang ada di kampung tersebut. Itupun jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya kira-kira berjarak 100 an meter lebih.
Ada satu rumah di ujung kampung itu yang sepertinya masih ada aktivitasnya. Cahaya lampu lima watt yang berwarna buram, terlihat bagaikan kunang-kunang di pekatnya malam.
“Besok berangkat dari rumah jam berapa Pa?” tanya Yu Sum kepada suaminya , sambil merapikan baju di koper kecil yang dibeli oleh suaminya dari pasar loak kampung sebelah yang hanya buka seminggu sekali.
“Pagi habis subuh, Ma,”
Kang Di dan Yu Sum tinggal di tengah kampung hutan jati, tapi mereka tidak mau kalah dengan orang-orang kota dalam hal romantisme berumahtangga. Mungkin karena Kang Di selama ini bekerja di kota, sehingga sedikit banyak mencontoh perilaku orang-orang kota.
Diluar masih terdengar derasnya hujan, dan malam itu Yu Sum mencoba menjadi bidadari binal bagi Kang Di. Suara nafas mereka ditelan derasnya hujan malam itu.
Sebelum adzan subuh berkumandang dari surau di tengah hutan jati itu, Kang Di telah meninggalkan Yu Sum untuk merantau ke kota mengadu nasib mencari pekerjaan yang lebih banyak menghasilkan uang.
Waktu demi waktu pun berlalu. Sepeninggal Kang Di, Yu Sum mengisi hari-harinya dengan mencari daun jati untuk dijual di pasar. Dan sudah enam purnama, kabar dari Kang Di pun tak kunjung datang.
Hingga pada suatu sore datanglah seorang laki-laki muda, agak gemuk, berkacamata dan tampan berkunjung ke rumah Yu Sum.
“Assalamualaikum, mau tanya mbak..apa bener ini rumah Kang Di?” tanya pemuda itu dengan ramahnya.
"Wa’alaikum salam mas, silahkan masuk. Iya bener ini rumah Kang Di. Saya istrinya, orang kampung sini biasa memanggil saya Yu Sum,”
“Maaf, mas ini siapa ya dan ada keperluan apa?” tanya Yu Sum penuh rasa penasaran.
“Sst, begini mbak..saya Parto, anak buah Kang Di. Saya kesini diperintahkan Kang Di untuk menyampaikan surat ini,” Parto pun segera menyerahkan secarik kertas kepada Yu Sum.
Ma,
Segera kemasi barang-barang dan ikuti saja Si Parto
Keadaan genting.
Sampai ketemu.
Yu Sum terkesiap membaca surat pendek tersebut. Dari garis-garis wajahnya menyiratkan kegalauan hati Yu Sum. Ribuan pertanyaan ada di benak Yu Sum.
Ada apa dengan Kang Di? Apa bener surat itu dari Kang Di? Siapa Si Parto ini? Bisakah Parto dipercaya? Apa yang telah dikerjakan oleh Kang Di? Kang Di sekarang ada di mana?
“Ayo mbak, segera kemasi barang-barang mbak. Waktu kita tidak banyak,” kata Parto sambil memperhatikan wajah Yu Sum.
“Maaf Mas Parto, bukannya saya tidak percaya sama Mas Parto, sebagai wanita yang ditinggal suami bekerja, saya akan tetap menunggu suami saya pulang kerja. Saya takut dengan gunjingan tetangga. Apapun yang terjadi pada Kang Di, saya akan tetap menunggu disini. Sampai Kang Di sendiri yang menjemput saya. Terimakasih atas kebaikan hati Mas Parto menyampaikan suratnya Kang Di,”
“Jadi Mbak gak mau menuruti perintah suami Mbak?” Mas Parto berkata dengan nada yang terdengar agak emosional.
“Sekali lagi maaf Mas, saya tidak bisa mengikuti perintah surat itu,”
“Ya sudah, tapi nanti kalau ada apa-apa jangan salahkan saya ya,” Mas Parto sedikit mengancam kepada Yu Sum.
“Iya Mas….,” jawab Yu Sum lirih.
Mas Parto pun pergi meninggalkan rumah Yu Sum.
Sebelum pergi, Mas Parto menyerahkan bungkusan kecil tas kresek kepada Yu Sum sambil berpesan,
“Tolong simpan di tempat yang aman dan jangan dibuka sebelum Yu Sum ketemu Kang Di”.
***
“Selamat siang bu, apakah benar ini rumah Bapak Sarmidi alias Kang Di?”
“Benar pak, saya Sumiati istrinya Kang Di,” suara Yu Sum bergetar lirih menjawab pertanyaan dari Inspektur Polisi Satu Johanes.
“Ada apa dengan Kang Di pak polisi, dimana Kang Di sekarang?” tanya Yu Sum dengan mata berkaca-kaca.
“Maaf, Ibu Sumiati kami mohon untuk ikut kami ke kantor polisi,”
Yu Sum pun dengan langkah berat mengikuti kata-kata Pak Polisi tadi, dilepas dengan tatapan mata penuh tanya dari tetangga di Kampung Njeru tersebut.
“Apa yang telah kamu lakukan Kang?” tanya Yu Sum lirih, dengan bibir digigit menahan malu dan amarah.
“Telah aku bayar penghinaan dari juragan beras itu. Enam bulan aku bekerja tanpa dibayar. Bentakan, caci maki, hinaan, itu sarapanku sehari-hari. Hingga akhirnya aku dan Parto mendapatkan kesempatan untuk membalas kelakuan busuknya kepada kami. Aku lakukan pembunuhan itu seorang diri. Tugas Parto adalah mengambil bongkahan emas yang disimpan di lemarinya juragan beras itu.
Bongkahan emas itu bekal hidupmu selama aku menjalani hukuman ini. Biarkan Parto bebas lepas,” bisik Kang Di di telinga kanan Yu Sum.
***
Sebelum adzan subuh berkumandang dari surau di tengah hutan jati itu, Yu Sum dan Parto telah pergi meninggalkam Kampung Njeru. Selama-lamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar