“Pecel satu bu, lauknya ceker pedes dua,” kata saya.
Sembari menunggu ibu penjual pecel itu menyiapkan pesanan,
saya arahkan lensa kamera saya ke beberapa objek yang berada di luar Gelanggang
Olahraga Ragunan.
Kalau minggu pagi, Gelangang Olahraga Ragunan ramai
dikunjungi warga Jakarta yang menyempatkan diri untuk berolahraga di sana.
Berbagai macam objek foto akan kita temui di sana.
“Monggo mas, pecelnya sudah siap.”
Mendengar itu, segera saya turunkan kamera saya dan saya
masukkan ke dalam tas kamera.
Saya hampiri ibu itu, saya pun duduk bersila di
dekat dagangannya.
“Terimakasih bu,” sepiring nasi pecel itupun berpindah
tangan.
“Hari ini rame bu?” tanya saya, membuka obrolan dengan ibu itu.
“Alhamdulillah, lumayan mas.”
Tiba-tiba....
“Mbok, pecel dua. Lauknya ceker, kepala, sayap. Gak pake
lama ya!” Seorang laki-laki, yang sepertinya baru selesai olahraga, memesan
pecel juga. Berjalan dibelakang mengikuti laki-laki tadi, seorang perempuan.
Obrolan saya dan ibu itupun terhenti. Saya melanjutkan makan
saya, dan ibu itu menyiapkan pesanan pecel tadi.
Sambil menyiapkan pesanan pecel dua piring, sesekali mata
ibu itu tertuju kepada perempuan itu.
“Mas, ini pecelnya,” kata ibu itu.
Laki-laki itu mengambil pecel pesanannya, di bawanya ke tempat yang agak
teduh. Di mana di situ si perempuan sudah menunggunya.
“Maaf bu, sepertinya ibu serius banget memperhatikan perempuan
itu,” tanya saya.
“Wajah mbak itu, mirip sekali dengan genduk, anak perempuan tunggal saya. Sekarang dia ada di Magelang.”
“Kerja di sana, bu?”
Mata ibu itu merah, sembab.
“Sebelum genduk berangkat, saya sudah ngomong ke genduk, ndak usah ikut-ikutan kerja ke negara
monco. Di sini saja mbantu simbok dan bapak bertani. Katanya panas lah, kulit
jadi hitam lah, penghasilan gak cukup lah.”
Saya menyodorkan tisu kepada ibu itu. Disekanya mata yang basah
itu dengan tisu pemberian saya.
“Enam tahun yang lalu, genduk pulang dari Arab Saudi. Kondisi
genduk kurus, omongannya ngglambyar gak karuan. Kata bapak pejabat yang
mengantarkan genduk, kepala genduk kejedug lantai waktu jatuh di kamar mandi. Katanya
ada pergeseran di saraf otaknya, sehingga jadi seperti itu. Oleh majikannya
dipulangkan, disuruh untuk berobat dulu. Nanti kalau sudah sembuh boleh kembali
lagi ke sana,” lanjut ibu itu.
“Sudah tiga tahun ini, genduk ada di rumah sakit jiwa
Magelang. Penyakitnya tambah parah.”
“Mengapa ibu malah berjualan pecel di sini?” Tanya saya.
“Saya berbagi tugas dengan bapaknya. Bapaknya bertani dan
mengurusi genduk di Magelang, saya mencari tambahan disini.”
“Ibu menjenguk putrinya berapa bulan sekali?”
“Enam bulan sekali saya pulang, membawa uang untuk biaya
berobat genduk.”
Saya hanya diam.
“Ini bu,” saya serahkan selembar uang berwarna merah untuk
membayar pecel yang baru saja saya makan.
“Kembaliannya simpan saja bu.”
Segera saya berlari ke tempat yang agak sepi, dan saya
pencet deretan angka-angka di handphone saya.
“Assalamu’alaikum bu, bagaimana kabarnya bu? Sehat kan. Insha
Allah hari ini saya pulang bu. Kangen.”
Foto diatas adalah karya cipta dari Amran Hendriansyah Abenk .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar