![]() |
Sumber : Dokumen Pribadi Rinrin Indrianie |
“Sepedanya kok di tuntun Kang?!” Pak Lik Parjo mengayuh
sepedanya pelan , kemudian menghentikan sepeda ontelnya beberapa meter di depan Pak De Kamidi.
“Aku mau ngaso sebentar dulu Le, sambil ngeyup, kamu bablas saja nanti selak
ditunggu anak istri mu.”
“Oo, tak pikir kebanan Kang. Yo wis, jangan lama-lama
Kang, nanti selak Magrib.” Pak Lik
Parjo meninggalkan Pak De Kamidi yang beristirahat di sebuah bangunan kecil
bekas warung es degan di pinggir jalan.
Pekerjaan Pak De Kamidi dan
Pak Lik Parjo adalah buruh pencari damen,
sisa batang padi, untuk dijadikan makanan sapi. Damen tersebut mereka ambil dari sawah-sawah yang telah selesai
dipanen. Tiap hari mereka selalu berburu sawah-sawah yang telah dipanen.
Seringkali mereka harus mengayuh sepeda ontel
mereka sampai ke desa-desa tetangga. Damen tersebut mereka setorkan kepada
juragan pemilik sapi. Setumpuk damen
yang mereka setorkan dihargai tidak lebih dari lima puluh ribu rupiah.
***
Wiiiyuuuuuu...wwwiiiiiyyuuuuuu....wwiiiyyyuuuuuuuuunnggg...
Suara sirine voorijder
meraung-raung. Motor besar yang dinaiki pak polisi yang berbadan tegap itu berjalan
zig-zag membuka jalan. Mobil, sepeda motor, truk, pada minggir semua memberi
jalan kepada rombongan tersebut.
Dibelakang
voorijder, sebuah mobil Alphard hitam melaju dengan kencang. Di dalamnya ada dua orang yang duduk dibelakang sopir.
“Kharisma dan wibawa Abah
sangat besar. Untuk wilayah tapal kuda ini, mustahil tidak ada yang tidak kenal dengan
panjengan, Bah. Abah ngomong pilih hitam, hitamlah wilayah ini. Ngomong pilih abu-abu,
abu-abulah wilayah ini” Berkata seseorang yang memakai kopiah hitam, berbaju
koko putih dan bercelana hitam.
“Oh ya, Abah gak usah
khawatir untuk asrama baru, paling lambat besok siang pasir, semen, besi, dan
kayu sudah datang. Selanjutnya orang-orang kami yang akan menyelesaikan
pembangunannya.” Lanjut orang itu.
“Hmmmm..” Jawab orang yang
dipanggil Abah.
***
Untuk
mengusir rasa dingin karena gerimis sore yang tidak berhenti-berhenti, rokok
kretek murahan tanpa cukai tersebut dihisapnya dalam-dalam. Asap putih pekatpun
keluar dari mulut Pak De Kamidi.
Kira-kira
setengah jam lagi akan masuk waktu Magrib.
Dinaikinya
sepeda ontel itu, kemudian dikayuhnya
untuk melanjutkan setengah perjalanan pulang. Cipratan air dari sepeda motor
maupun mobil yang lalu-lalang di sebelah Pak De Kamidi tidak dihiraukannya.
Wiiiyuuuuuu...wwwiiiiiyyuuuuuu....wwiiiyyyuuuuuuuuunnggg...Suara
sirine voorijder meraung-raung.
Pak
De Kamidi mengayuh sepeda ontelnya lebih
cepat dari biasanya. Dengan sedikit zig-zag, Pak De Kamidi menghindari
kendaraan-kendaaran yang menepi memberi jalan pada rombongan Alphard itu.
Pak
De Kamidi berhasil menghindari himpitan kendaraan-kendaraan, dan meninggalkan
mereka.
Wiiiyuuuuuu...wwwiiiiiyyuuuuuu....wwiiiyyyuuuuuuuuunnggg...Suara
sirine voorider semakin mendekat.
Pak De Kamidi mempercepat
kayuhannya. Kepalanya di tolehkannya ke belakang. Dilihatnya sebuah sepeda
motor polisi dan sebuah mobil hitam besar tidak jauh dari nya.
Gubrakkkkk!!!!
Ban depan sepeda ontel Pak
De Kamidi terperosok ke lubang di tengah jalan. Pak De Kamidi terpelanting ke
depan, dan damen itupun tumpah ke
jalan raya.
“Ada apa ini pak kok
berhenti?” Tanya Abah sambil menurunkan jendela mobil.
Dilihatnya damen berserakan,
dan seorang laki-laki tua yang tergeletak di tengah jalan.
“Kanjeng Guru?” Gumamnya
dalam hati, dan dengan segera ditutupnya jendela mobil itu.
“Cepetan pak, saya selak ada pertemuan dengan Pak Bupati”
Kata Abah,
Wiiiyuuuuuu...wwwiiiiiyyuuuuuu....wwiiiyyyuuuuuuuuunnggg...
Voorijder dan Alphard
menggilas damen dan meninggalkan Pak
De Kamidi yang terkapar di tengah jalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar