“Aku tak mengira hal mengerikan
itu terjadi padaku.”
Secepat kilat jari-jari
mungil kera itu menyambar pergelangan tangan kananku. Segenggam kacang tanah
yang akan aku lemparkan ke kandang itu pun tumpah. Kuku-kuku kecil yang tajam
tersebut menembus kulit tanganku. Beberapa tetes darah jatuh ke tanah. Perih.
“Tolong..tolonnggg,” dengan
sekuat tenaga aku tarik pergelangan tanganku. Tapi cengkeraman kuku-kuku kera itu
semakin kuat, menembus lebih ke dalam.
“Panggilkan pawangnya!”
teriak seseorang entah kepada siapa.
Dibelakang kera yang
mencengkeramku, ada sepasang mata yang menyala, menatap tajam ke arah dua bola
mataku. Sambil menahan perih yang sangat aku beradu pandang dengannya.
“Nguk...ngukkk..wakwkk....”
teriaknya lantang sambil menunjukkan deretan giginya yang runcing. Mungkin dia
sedang berkata “Woi bedhes, koen ra kenal
aku ta?!”
Beberapa orang pengunjung
berusaha menolongku dengan cara menakut-nakuti dua kera tersebut. Ada yang
mengacung-acungkan batu, ada yang melemparinya dengan kotak bekas minuman, ada
yang meneriaki “husss, hussss!.”
Tapi kedua kera tersebut
tidak bergeming sedikitpun.
Tiba-tiba aku merasakan
cengkeraman itu sedikit mengendor, kuku-kuku itu tidak lagi menancap di
pergelangan tanganku. Tapi jari-jari mungil tersebut masih memegang pergelangan
tanganku dengan kuat. Geli rasanya.
“Nguukk, nggukkkk...”
terdengar suara kera yang memegang pergelangan tanganku.
“Hah! Kera itu bisa berbicara kepadaku?” gumamku dalam hati. Mataku melotot, mulutku menganga, tak percaya.
“Bedhes
elek, berani benar kamu datang ke sini? Sepertinya kamu tidak mengenali aku.”
“Siapa kamu, apa maumu?”
kataku.
“Kamu
ingat, tujuh tahun yang lalu di alas Ketonggo ada seekor kera betina yang
sedang menyusui anaknya, jatuh dari pohon karena ditembak oleh seorang pemburu?
Kemudian si pemburu tersebut menguliti tubuh induk kera, mengambil dagingnya
dan otaknya. Belum puas dengan itu, si anak kera pun diambil dan dijualnya.
Ingat?!”
“Aduh, aduh aduh...tanganku
perih,” kera itu kembali menancapkan kukunya ke pergelangan tanganku.
“Iya, iya, aku ingat. Toh
itu sudah tujuh tahun yang lalu, dan emakmu tidak akan bisa hidup lagi?”
“Dasar
bedhes, ngomong seenaknya saja. Seandainya tujuh tahun yang lalu kamu tidak
menembak emakku, mungkin emakku masih hidup dan aku tidak terkurung disini.
Jadi tontonan yang lucu orang-orang kota yang mbedhesi semua.”
“Apa maumu?” aku merasakan lagi
cengkeraman itu mulai kendor. Aku menunggu kesempatan untuk bisa menarik
pergelangan tanganku lepas dari cengkeramannya.
“Aku
ingin kamu juga merasakan seperti aku. Jadi tontonan yang lucu orang-orang
kota.”
Inilah waktunya, dengan sekali sentak lepaslah pergelangan tanganku dari cengkeraman kera jelek itu.
“Nguk..ngukk..ngukkk,”
teriakku.
“Loh, kenapa orang-orang itu
pada tertawa melihatku,” kataku sambil menggaruk-garuk kepala dan
melompat-lompat.
“Sekarang
kita impas, bedhes!”
Prompt #66 di Monday Flash Fiction. Dengan jumlah kata 395 kata.
Terimakasih kepada Amran Hendriansyah Abenk, yang telah mengijinkan fotonya untuk dijadikan image dari cerita ini.
Bedhes = keraKoen = kamu
Elek = jelek
Mbedhesi = berperilaku seperti kera
Alas = hutan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar