Kamar Bapak yang ber cat
orange itu sepi. Saya rebahkan badan saya di atas tempat tidur model ranjang
rumah sakit punya Bapak, yang baru sebulan lalu dibeli dari hasil patungan tujuh
anak-anaknya.
***
“Ayo ndang budal, mengko selat telat,” ( ayo segera
berangkat, nanti keburu terlambat ) kata Bapak sambil mengeluarkan sepeda
ontelnya. Segera saya mencium tangan Sibu dan berlari, membonceng sepeda ontel
Bapak. Minggu pagi itu, saya diantar Bapak ke RRI Surakarta untuk ikut mengisi
siaran Taman Kanak-Kanak. Pada waktu itu saya berani tampil dengan menyanyikan
lagu yang berjudul Bedug Agung.
Bedug
agung, bedug agung
Onok
unine, onok unine
Dangdut
ecek- ecek, dangdut ecek-ecek.
Sepulang dari RRI Surakarta,
Bapak membawa saya mampir ke Pasar Burung Triwindu. Sebagai hadiah karena
keberanian saya tampil nyanyi ngawur, Bapak membelikan saya burung jalak.
***
Azan subuh sudah
berkumandang dari Masjid Makmur. Suara siaran wayang kulit semalam suntuk dari
radio transistor punya Bapak terdengar dengan jelas. Segera saya mengambil air
wudu dan solat Subuh. Sehabis solat Subuh, saya lihat Bapak sudah ngangsu mengisi bak mandi dan Sibu
sedang mengaji.
“Pak,
kulo sepatu rodaan riyin,” (
Pak, saya main sepatu roda dulu ) pamit saya kepada Bapak.
“Yo,
ati-ati,” ( Ya, hati-hati ) kata
Bapak sambil meneruskan ngangsunya.
Sekitar tahun 80 an di Solo
lagi booming olah raga sepatu roda. Tidak ketinggalan saya pun ikut terkena
demam olah raga sepatu roda tersebut. Biasanya hari Minggu pagi, di jalan
Slamet Riyadi di jadikan lintasan bersepatu roda.
Minggu pagi itu saya
berangkat sendiri, karena teman-teman yang biasanya bareng main sepatu roda
tidak muncul di tempat yang menjadi titik kumpul kita. Sebenarnya agak takut
juga, karena hari masih gelap. Akhirnya dengan mengumpulkan sisa-sisa
keberanian, sampailah saya di Slamet Riyadi. Baru ada beberapa anak yang main
sepatu roda. Saya masih ragu-ragu untuk langsung main sepatu roda, atau
menunggu agak terang.
“Wis
ndang di enggo sepatu roda ne.” ( Lekas di pakai sepatu
rodanya )
Loh..ternyata Bapak, dengan
sepeda ontelnya mengikuti saya dari belakang. Mungkin Bapak ndak tega melihat
saya jalan sendirian.
***
“Pak, kulo wangsul riyin. Mangke dolan Solo malih kalian keluarga, tapi
mboten ten rumah sakit, ten omah Laweyan mawon,” ( Pak, saya pulang dulu.
Nanti main lagi ke Solo bersama keluarga, tapi tidak di rumah sakit, di rumah
Laweyan saja ) saya pamitan ke Bapak
mau pulang ke Malang, setelah dua hari menunggui Bapak di RS. Jebres Solo.
Lama tangan saya di pegang
Bapak, matanya memandang saya, seperti ada sesuatu yang mau di omongkan Bapak.
Saya dekatkan wajah saya ke wajah Bapak, Bapak seperti bergumam tapi tidak
jelas. Saya cium ke dua pipi dan kening Bapak. Sabtu siang itu saya pulang ke
Malang.
***
Senin subuh, saya, istri,
dan ke dua anak saya tiba di Laweyan. Saya menepati janji saya untuk membawa
keluarga mengunjungi Bapak. Bapak berbaring di ruang tengah.
“Monggo
Mas, Bapak di sucikan dulu,” kata seorang tetangga kepada
saya.
Saya, anak saya yang besar, para menantu
laki-laki, para cucu, dibantu tetangga, memandikan Bapak dengan hati-hati.
Subhanallah, tubuh Bapak
kuning bersih, pada waktu kita sucikan tidak ada sedikitpun kotoran yang keluar
dari dubur Bapak.
Senin siang, bakda Solat
Duhur, setelah di solatkan di Masjid Makmur, Bapak dimakamkan di TPU Keramat. Makam
Bapak hanya berjarak 3 meter dari makam Sibu, yang telah 13 tahun mendahului Bapak.
Allahumaghfirlahu
warhamhu waafihi wa’ fuanhu.
Selamat jalan Pak, semoga
Panjenengan bertemu Sibu dan dimasukkan dalam golongan Khusnul Khotimah.
Aamiin.
Bapak
Sumarto Aminoto bin Mulyoharjono, lahir pada tanggal 10 Juni 1933 dan meninggal
pada tanggal 26 Oktober 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar