Orang-orang bilang bulan November identik dengan hujan.
November Rain. Memang benar sih, memasuki bulan November ini beberapa wilayah
sudah mulai diguyur rintik hujan. Tanah yang basah oleh air hujan menimbulkan
semerbak aroma yang unik, ngangeni.
Toko-toko di pinggir jalan tidak mau kalah dalam mangayubagyo atau ikut meramaikan November Rain, dengan cara memajang
jas hujan dan payung warna-warni beraneka rupa dan ukuran.
Dulu waktu aku kecil, ketika pas hujan, aku dan
kawan-kawan berlarian keluar rumah menuju pelabuhan Tanjung Tembaga Probolinggo
yang jaraknya kira-kira dua puluh kali kayuhan sepeda dari rumahku. Kami sangat
menikmati tetesan air hujan tersebut. Tidak hanya anak-anak seumuran kami,
bahkan orang-orang dewasa pun tak mau ketinggalan mangayubagyo datangnya hujan.
Orang tua kami pun pada saat itu tidak pernah melarang kami main hujan, kita di
biarkan main hujan sampai puas. Beda dengan orang tua modern sekarang yang
selalu melarang anak-anak mereka bermain hujan.
Dari siang sampai malam hari ini hujan masih mengguyur kota
Malang. Jalanan yang biasanya penuh dengan sepeda motor, mobil, angkot, becak, sekarang
sepi.
Pusat perbelanjaan tempat aku bekerja selama empat tahun
terakhir ini pun sudah tutup. Beberapa karyawan dan pengujung masih tinggal di
depan lobby, menunggu hujan reda, termasuk aku.
“Ojek payung, Mbak,” kata seorang bocah yang masih
memakai seragam SD tanpa alas kaki, sambil membawa payung besar warna-warni.
Ups, sapaan bocah itu membuyarkan lamunanku yang sedang mengembara ke lorong-lorong waktu.
Sebenarnya bisa saja aku berjalan cepat ke tempat kos ku
di belakang Masjid Besar, atau nebeng payung dengan temanku, tapi ada perasaan
iba di dalam hatiku, melihat kegigihan bocah itu mencari uang di malam yang
basah dan dingin ini.
“Berapa, Dik?” tanyaku.
“Terserah sampeyan, Mbak.”
“Ya sudah, antar aku ke belakang Masjid Besar ya.”
Payung besar itu pun berpindah ke tanganku, dan bocah itu
berjalan disampingku.
Sambil berjalan, aku mencoba membuka obrolan dengan bocah
itu.
“Namamu siapa, Dik?”
Tidak ada jawaban dari bocah itu.
Aku pun menyeberang jalan, potong kompas masuk ke alun-alun agar segera sampai di tempat kos ku. Ketika melewati
sebuah pohon beringin tua yang ada di pojokan alun-alun, tiba-tiba hidungku
mencium bau yang sangat keras wanginya. Bulu kudukku merinding. Aku lihat ke
sekelilingku, bocah itu tidak ada disampingku.
"Dik, dik....."
Ada hembusan lembut di belakangku.
Jangan-jangan......Aku lempar
payung besar warna-warni itu dan lari sekencang-kencangnya.
***
Menurut cerita ibu kos ku, empat tahun yang lalu ada
seorang bocah pengojek payung yang tewas karena tabrak lari di malam hari, dan
jasadnya tergeletak di bawah pohon beringin tua yang ada di pojokan alun-alun.
Foto adalah hasil jepretan Amran Hendriansyah AbenK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar