Pucuk
cemara sudah merunduk menyongsong malam. Yang menunggu penjemputan sudah
meninggalkan pekarangan dengan puji syukur setinggi langit. Tinggal aku sendiri
yang masing mencangkung di pojok sambil terus melotot ke pintu pagar, berharap
kalau-kalau ada yang mendekat. Yang ada cuma angin senja, menerbangkan bau
rerumputan bercampur debu, memperberat kecemasanku.
"Mas Koyo," orang
yang sebentar-sebentar melemparkan pandang ke arahku dari pagar kawat berduri,
tiba-tiba menghampiri, merapat, membuatku tegak. "Saya Kiswoyo, masih ada
hubungan darah dengan Mbak Uci," katanya menyebutkan nama akrab istriku.
Aku merunduk dibuat ucapannya itu. Istri! Bisikku dalam hati. Ada duka di balik
kata itu. "Sudah gelap. Kelihatannya dia tak bakalan datang. Kalau Mas tak
keberatan, ikut saya saja. Nginap dulu di rumah saya. Tak jauh dari sini,"
sambungnya.
Aku masih bingung dengan kebebasanku. Tidak tahu apa yang
harus aku perbuat.
“Apa ndak ngrepoti sampeyan dan keluarga, dan juga apa
kata tetangga-tetangga sampeyan kalau sampai tahu ada bekas narapidana tinggal
di rumah sampeyan,’ tanyaku.
“Halah, kalau ada yang tanya ya aku jawab saja ada tamu
dari Banyuwangi. Beres kan Mas Koyo?”
Entah apa yang ada di benak Kiswoyo, mengajakku menginap
di rumahnya. Padahal aku dan Kiswoyo bukanlah teman akrab maupun saudara yang
ada hubungan darah. Mungkin Kiswoyo iba kepada nasibku yang hampir mirip dengan
kata pepatah, sudah jatuh masih ketimpa tangga pula.
“Maaf Kis, aku pinjam uangmu lima ratus ribu saja. Untuk
ongkos ke Madiun, di sana aku punya teman bekas narapidana juga, yang sudah
bebas duluan. Katanya sekarang dia punya usaha bengkel las. Siapa tahu ada
pekerjaan buatku.”
Kiswoyo mengeluarkan dompet dari saku belakang celananya.
Jari-jemarinya bergerak-gerak di dalam dompet, mulutnya komat-kamit, menghitung
uang yang ada di dalam dompetnya.
“Apa gak sebaiknya nginap di rumahku dua-tiga hari Mas. Siapa
tahu juga aku punya pekerjaan buat sampeyan.”
Kiswoyo tidak menjawab pertanyaanku, malah untuk kesekian
kalinya mengajakku untuk menginap dirumahnya.
“Kamu nggak percaya sama aku Kis?! Nanti kalau aku sudah
punya uang, aku kembalikan utangku.”
Mulut Kiswoyo ternganga, matanya melotot. Kiswoyo tidak
menyangka dengan nada bicaraku yang meninggi.
“Bukan begitu Mas Koyo, masalahnya aku lagi gak punya
uang. Ada sih dua ratus ribu, tapi itu mau akau gunakan untuk keperluanku.”
Berani benar Kiswoyo menolak keinginanku.
Kepala Kiswoyo tidak sempat menghindar, ketika kepalan tangan
kananku melayang ke arah nya. Darah segar meluncur dari hidung Kiswoyo. Badan
Kiswoyo limbung, kedua tangannya memegangi hidungnya yang berdarah.
Dengan sekali jejak tepat ke arah ulu hatinya, Kiswoyo
jatuh mencium tanah. Segera aku ambil dompet yang ada di saku belakang celana
panjangnya.
“Tolong..tolongggg..copetttt..!!!” teriak Kiswoyo.
“Sialan, masih bisa teriak juga dia,” batinku dalam hati.
Berhenti!!!” seorang sipir penjara berlari keluar sambil
membawa pentungan.
Aku berhenti diam, tidak mencoba melawan.
“Hah!!! Kamu Yo, baru satu jam di luar sudah bikin ulah,”
kata sipir tersebut.
Dengan kedua tangan di borgol di belakang, aku
digelandang masuk ke dalam bui lagi.
Diam-diam aku bersyukur, karena kembali ke hotel yang
nyaman, hotel prodeo.
***
Flash Fiksi diatas di ikut sertakan dalam Prompt#70 di Monday Flash Fiction
Foto ilustrasi karya cipta dari Amran Hendriansyah AbenK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar