![]() |
Seorang PNS sedang menunggu kereta lewat. |
Dulu waktu saya masih kelas satu SD, cita-cita saya
adalah ingin menjadi tentara. Karena di mata saya pada waktu itu, sosok tentara
itu sosok laki-laki yang gagah, punya senjata api, berani.
Pada waktu kelas lima SD, saya baru sadar bahwa saya
tidak mungkin menggapai cita-cita sebagai tentara. Karena setiap ada lomba
baris – berbaris, saya tidak pernah diikutsertakan oleh Pak guru olah raga.
Kemudian pada waktu SMP, cita-cita saya berubah ingin
menjadi seorang dokter. Salah satu penyebab perubahan cita-cita tersebut adalah
pengalaman saya mengantarkan ibu saya berobat ke rumah sakit pusat ( kalau
sekarang namanya Rumah Sakit Umum Daerah ). Ibu ditanya lima pertanyaan oleh
seorang dokter laki-laki keturunan Cina, yang usianya kira-kira lima tahun
diatas ibu. Setelah itu, dokter tersebut menuliskan sesuatu di atas secarik
kertas. Ibupun mengeluarkan beberapa lembar uang untuk ditukar dengan secarik
kertas tersebut. Menurut saya itu adalah pekerjaan yang gampang banget dan
menghasilkan uang yang banyak.
Mendekati kelulusan SMA, saya harus mengubur dalam-dalam
cita-cita saya untuk menjadi dokter. Saya ragu dengan kemampuan otak saya
bersaing dengan ribuan calon mahasiswa yang ingin masuk Fakultas Kedokteran.
Dan juga adalah masalah biaya.
Tiga bulan sebelum UMPTN, saya mengambil keputusan yang
sangat penting untuk masa depan saya, yaitu saya harus melanjutkan kuliah di
luar kota. Terserah mau kuliah dimana, yang penting gak di kampung halaman.
Alasan saya karena pingin merasakan suasana mudik lebaran.
Alhamdulillah cita-cita saya yang ke tiga dikabulkan oleh
Allah. Dari empat PTN yang saya pilih, saya hanya diterima di Sekolah Tinggi
Akuntansi Negara Spesialisasi Pajak Jakarta. Itupun berkat doa ibu saya yang
berharap saya diterima di sekolahan yang gratisan saja. Thanks to my Mom.
Pada waktu kuliah di STAN selama tiga tahun tersebut,
saya tidak pernah membayangkan bahwa nanti saya lulus dari STAN akan menyandang
embel-embel Pegawai Negeri Sipil.
Tidak pernah terlintas dalam benak saya bahwa
PNS itu predikat yang prestisius ataupun dipandang sebelah mata. Yang penting
saya belajar semampu saya, menikmati masa kuliah, dan akhirnya lulus di urutan
341 dari 345 mahasiswa. I’m proud of
myself.
Saya memasuki dunia PNS pada usia yang boleh dibilang
masih ranum semerbak merona, masih pah
poh. Rekan-rekan kerja pada waktu itu antara generasi tua dengan generasi
mudanya perbandingannya adalah 50:50.
Saya ingat pada waktu hari pertama saya masuk kerja,
seorang pegawai senior memberikan petuah kepada saya, atau mungkin tips survive
sebagai PNS. Beliau mengibaratkan penghasilan PNS itu sebagai sebuah tisu wajah
yang kecil tapi wangi. Tisu wajah tersebut hanya cukup untuk mengelap muka kita
saja. Bagaimana agar tisu tersebut dapat mengelap seluruh badan kita? Maka
pandai-pandailah kita menggunakan tisu tersebut. Dan, Alhamdulillah di era
reformasi birokrai sekarang ini tisu wajah tersebut sudah selebar koran.
Sehingga kita bisa leluasa menggunakan tisu tersebut.
Di media massa sekarang lagi ramai tentang Surat Edaran
MenPan Nomor 13 Tahun 2014 tanggal 20 November 2014 tentang Gerakan Hidup
Sederhana. Ada empat langkah untuk mendorong pola hidup sederhana bagi
penyelenggara negara, yaitu :
1. Membatasi
jumlah undangan resepsi maksimal 400 undangan dan jumlah yang hadir maksimal
1000 orang.
2. Tidak
pamer kemewahan.
3. Tidak
memberikan karangan bunga kepada atasan atau sesama pejabat pemerintahan.
4. Membatasi
iklan yang berbiaya tinggi.
Yang jadi bahan bully di media sosial adalah SE MenPan
Nomor 10 Tahun 2014 tanggal 4 November 2014 tentang Peningkatan Efektifitas dan
Efisiensi Kerja Aparatur Negara. Disitu diatur mengenai penghematan penggunaan
sarana dan prasarana kerja, penghematan anggaran, dan menyajikan menu
tradisonal dalam setiap acara pertemuan/rapat.
Sedangkan untuk langkah-langkah pembatasan kegiatan
pertemuan/ rapat di luar kantor diatur dalam SE MenPan Nomor 11 Tahun 2014
tanggal 17 November 2014.
Kalau kita baca ke tiga Surat Edaran MenPan tersebut
sebenarnya adalah hal yang sangat positif, mengajak para PNS kepada kebaikan. Tanpa
Pak Menteri mengeluarkan SE tersebut, PNS sudah melaksanakannya dalam kehidupan
sehari-hari. Kita ambil contoh aturan mengenai tidak memberikan karangan bunga kepada atasan atau sesama pejabat
pemerintah. Selama karir saya 17 tahun jadi PNS, belum pernah saya melihat
seorang atasan dikasih karangan bunga oleh bawahan. Setahu saya karangan bunga
itu untuk orang yang meninggal dunia, jadi kalau sampeyan memberikan karangan
bunga kepada atasan sampeyan, bisa-bisa sampeyan di pisuh-pisuhi oleh atasan
sampeyan. Wanna try?
Di dalam batang tubuh ke tiga SE tersebut, saya tidak
membaca adanya kata-kata yang menyudutkan kinerja PNS.
Kalau menurut saya, seharusnya Pak Yuddi Chrisnandi mengangkat
isu tentang KORPRI. KORPRI itu organisasi yang sangat besar dengan jumlah
anggota yang sangat besar, saya tidak tahu pastinya. Selama ini kita sebagai
anggota KORPRI tidak pernah merasakan adanya KORPRI, apalagi manfaatnya bagi
kita. Ah sudahlah Pak, ini cuman omongan
wong cilik.
Yang saya wanti-wanti kepada Yuddi, jangan sampai PNS
dilarang mengambil KRETAP di BRI. Kalau sampai Pak Yuddi mengharamkan KRETAP,
bisa-bisa roda perekonomian republik ini terganggu. Karena tidak akan ada lagi PNS
merenovasi rumah, maka tidak akan ada lagi tukang yang bekerja, maka tidak akan
ada lagi mandor yang beli bahan bangunan di toko material, maka tidak ada lagi
pelanggan mbok-mbok jamu, dan seterusnya. Pepatah mengatakan, seorang PNS tanpa
KRETAP bagaikan langit di malam hari tanpa bintang, gak beautiful blas.
Ada sebuah adagium di lingkungan PNS yang mungkin perlu
pak Yuddi ketahui, bahwa gaji PNS itu seperti seorang perempuan yang lagi dapat
“datang bulan”. Setiap bulan pasti dapat, lima hari kemudian habis sudah. Lebay ah...
Saya ber-khusnudhon kepada Pak Yuddi, bahwa Pak Yuddi
akan lebih memperhatikan aparatur negara dalam segala hal dan menjadi lebih
baik berkali-kali lipat.
Dan benar, saya Pegawai Negeri Sipil.
Semua peraturan diatas bisa diunduh di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar