Setelah berjalan lebih dari setengah hari,
dengan menyusuri perbukitan yang ditumbuhi bunga edelweis tibalah kita di pos
pendakian Ranukumbolo.
Ranukumbolo adalah nama sebuah danau dari
beberapa danau yang ada di wilayah Semeru.
Di pinggir Ranukumbolo tersebut terdapat
shelter atau pondokan untuk istirahat sejenak para pendaki. Baik yang mau naik
ataupun yang turun dari Semeru.
Biasanya di Ranukumbolo ini, para pendaki
berkesempatan mandi di danau sepuas-puasnya. Atau juga memanfaatkan waktu
dengan bernarsis ria berfoto dipinggir danau. Dengan latar belakang puncak
Semeru yang mengeluarkan asapnya, dengan gaya sok pendaki. Tau gaya sok pendaki
kan?…kedua tangan dibuka lebar-lebar kaki juga dibuka lebar, kalo kata orang
jawa mbegagah.
Ada juga yang gaya gini, tangan sedakep di
depan dada dengan bahu agak miring ke kiri atau ke kanan…heheh gaya paporit
saya tuh.
Dan tugas fotografer kita pasrahkan kepada
ahlinya, Jabrik.
Dengan kamera Nikon jadulnya yang selalu ditenteng dikalungkan
lehernya, Jabrik berburu obyek-obyek foto yang keren. Sebagian besar
foto-foto Jabrik melibatkan saya sebagai modelnya. Seharusnya Jabrik
berterimakasih kepada saya, sayangnya sepertinya dia lupa untuk mengucapkan
terimakasih.
Sebagai anggota yang paling junior, dan
berasal dari kota yang terkenal dengan rumah makan nya, maka tugas Andi Padang
lah untuk menyiapkan makan siang dan juga menghidangkan teh yang akan kita
nikmati berlima.
Dibantu dengan Priyatna, yang jago masak
lalapan, mereka berdua berkolaborasi memasak masakan istimewa yaitu mi goreng
instan dengan ditambahi korned.
Itu adalah mi goreng instan terlezat yang
pernah kita nikmati seumur hidup kita…hhehhe..lebay ya?..
“Mas, berangkat duluan. Saya tunggu di
Kalimati mas,” kata seorang pendaki dari Jakarta yang ketemu kita di
Ranukumbolo.
“Ok mas, sebentar lagi kita nyusul kok.
Kita beresin ini dulu,” jawab Wong Li sambil mencuci bekas tempat makan yang
tadi kita pakai dipinggir Ranukumbolo.
“Eh, ada batu prasasti tuh di tepi
Ranukumbolo,” teriak saya sambil menunjuk ujung atas batu prasasti yang
menyembul di permukaan air danau.
Setelah sholat Dhuhur yang di jama’ qoshor
dengan sholat Asar, kembali kita meneruskan perjalanan menuju etape berikutnya.
Setelah Ranukumbolo ini kita melewati
padang rumput yang luas. Dengan jalan yang sedikit menanjak, ada yang menamai
tempat ini Oro-Oro Ombo yang berarti dataran yang luas. Dan ada juga yang
memberi julukan Tanjakan Cinta.
Saya kurang mengerti filosofi mengapa
dinamakan Tanjakan Cinta. Kalau menurut saya sih itu adalah tanjakan yang
membikin ngos-ngosan. Atau mungkin cinta itu membikin kita ngos-ngosan?…tak
taok aku.
Tapi, Ranukumbolo kalau dilihat dari
Tanjakan Cinta…duuhhh…ibaratnya itu, sampeyan selama sebulan hidup betetangga
dengan Spongebob, Gary, Squidward, Olga, dan yang lainnya. Bosan
kan.
Nah di bulan berikutnya sampeyan di beri
kesempatan hidup bertetangga dengan Ayu Ting-Ting, Cinta Laura, Dian
Sastro…wuih..endah bukan?…
Nah itulah ibarat yang pas untuk
menggambarkan betapa endahnya Ranukumbolo kalo dilihat dari Tanjakan Cinta.
Menjelang sore, selepas dari Oro-Oro Ombo
dan Tanjakan Cinta kita mulai memasuki hutan cemara. Suasananya sudah mulai
redup. Disamping memang sudah sore, juga sekeliling kita adalah pohon cemara
yang tinggi-tinggi dengan daun yang rimbun. Sehingga sinar matahari tidak
leluasa menyinari sampai kebawah, tertahan oleh rimbunnya daun cemara.
Itulah yang dinamakan Cemoro Kandang.
Mataharipun benar-benar sudah meninggalkan
siang. Bergantian tugas dengan bulan untuk menyinari malam.
Suara-suara gesekan cemara
bersahut-sahutan dengan suara-suara serangga malam dan juga binatang-binatang
malam.
Disaat teman-teman yang lain menikmati
malam di Alun-Alun Malang atau di daerah Payung Batu yang bermandikan cahaya,
kita berada ditengah hutan. Hanya mengandalkan senter dan sinar bulan.
Kelelahan setelah berjalan seharian penuh. Emang siapa yang nyuruh ???
Kadang saya tidur sebentar, tapi tetap
sambil berjalan. Dan terjerembab adalah hal biasa. Itu yang membikin kita jadi
gak ngantuk lagi.
Target kita adalah, sebelum jam sepuluh
malam kita harus sudah sampai di Kali Mati. Kita akan mendirikan tenda disitu
untuk istirahat sejenak, karena besok pagi-pagi sekali akan meneruskan
pendakian.
Di Kali Mati tersebut terdapat mata air
yang bernama Sumber Mani.
Bersambung cak....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar