“Kamu lagi, kamu
lagi!....Dasar bocah gemblung koplak!”
Bocah berperawakan gembul, berkepala
plontos, dengan dua gigi tonggos yang berwarna kuning kehitam-hitaman dan tanpa
baju itupun hanya berdiri mematung di tengah-tengah ruangan yang besar.
Dihadapannya duduk tiga laki-laki
separuh baya berbadan kekar, dengan jenggot putih panjang yang menjuntai ke tanah. Mereka bertiga
memakai jubah hitam. Di ujung kanan dan kiri berdiri dua perempuan muda dengan potongan
baju yang ketat memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhnya.
“ Eee...nganu Pak...nganu
Bu,” kata bocah gembul itu tergagap-gagap.
Kejadian ini adalah kali ke
lima si bocah tersebut gagal menyelesaikan tugas yang diembankan kepadanya
dalam pekan ini. Ke lima dewan pembina tersebut bingung dengan fenomena yang
terjadi pada bocah tersebut.
“Jiyannn, susah benar
melatih bocah satu ini,”
“Lima tugas yang kita
berikan kepadanya, tak satupun membuahkan hasil yang memuaskan.”
“Kita coba sekali lagi saja.
Kalau sampai tugas ini gagal, apa boleh buat kita gantung dia diatas menara di
tengah Pasar Bubrah.”
Tugas telah ditetapkan, dan besok
pagi-pagi buta sebelum ayam berkokok bocah tersebut harus pergi untuk segera
melaksanakan tugasnya. Nyawanya tergantung kepada kemampuan melaksanakan tugas
besok pagi.
Malam itu, bocah itu melesat
dari tempat isolasinya sambil membawa Ondo Awang-Awang, tangga yang merupakan satu-satunya
alat yang menghubungkan langit dengan alam
lain. Sambil menuruni tangga itu, dia gergaji anak tangga itu satu persatu.
“Jangkrik! Memangnya mereka
siapa, seenaknya saja menyuruh aku mencuri dengar berita dari langit. Kalau aku
kena kena petir apa mereka mau bertanggungjawab?” kata bocah itu
bersungut-sungut.
“Ha ha ha ha..sekarang rasakan
pembalasanku! Mereka tidak akan bisa memerintahku lagi.”
Bocah itu menghangatkan
badannya di dekat api unggun, kemudian dibukanya sebuah karung besar. Satu
persatu dikeluarkannya dari dalam karung tersebut lima buah kepala para dewan
pembina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar