Mata Juminten merah , kelopak matanya bengkak. Sajadah
tempat dia bersujud basah oleh air mata. Suara isak tangis yang tertahan, lirih
terdengar di sepinya sepertiga malam. Segala keluh kesah dan beban yang
mengganjal dihatinya, Juminten tumpahkan dihadapan Gusti Allah. Malaikat –
malaikat pun pasti akan heran dan trenyuh mendengar rintihannya di sepertiga malam
itu yang berbeda dengan malam – malam sebelumnya.
Dengan perlahan mukena putih itu dilipatnya dimasukkan ke
dalam filling kabinet plastik. Dari
dalam filling kabinet, Juminten mengambil sebuah kaleng kue kecil yang sudah karatan. Sebuah
amplop kumal dan lusuh dia keluarkan dari kaleng tersebut. Warna coklat amplop
itu sudah berubah menjadi putih bulak. Dengan hati – hati dia keluarkan satu
lembar surat dengan tulisan tangan yang jelek. Seperti tulisan dokter yang
menuliskan resep obat di apotek. Bau apek surat itu tercium jelas.
Sepuluh tahun yang lalu, dia menerima sepucuk surat yang
dikirim oleh Paijo, teman sepermainan masa kecil dulu, yang lagi mengadu nasib di Ibu Kota . Di baris
paling atas surat itu ditulisi Suratku
Untuk Kamu. Surat tanpa basa – basi, surat yang sebenarnya adalah surat
pribadi tapi tidak ada sisi romantisme sama sekali. Tidak ada kata – kata
pujian maupun rayuan. Surat yang menceritakan bahwa Paijo jatuh hati pada Juminten.
“Dik Jum, nanti kalau Dik Jum jadi ummi dari anak - anak
saya, Insha Allah akan saya belikan rumah KPR tipe 36.” Itu kata Jarwo, laki –
laki saingan Paijo, waktu melamar Juminten sepuluh tahun yang lalu. Orang tua
mana yang tidak rontok hatinya mendengar anak perempuannya akan dinikahi orang
mapan dan alim. Pesta pernikahan Juminten dan Jarwo pun diselenggarakan dengan
sederhana.
Entah mengapa Juminten tidak pernah membuang surat dari Paijo.
Seperti ada magnet yang membuat perempuan itu selalu ingin membaca surat itu.
Surat yang berbeda dari surat – surat yang pernah dia terima. Setiap membaca
surat itu, hati Juminten serasa kembali ke masa kecil yang ceria, bebas, sendau
gurau tanpa takut dibilang saru. Ingatannya akan terbang ke lorong – lorong SD
Swasta tempat dimana Paijo dan Juminten dulu menuntut ilmu, bermain sepeda
bersama – sama sambil melihat rumah yang bagus – bagus di komplek sebelah
kampung mereka. Berkejar – kejaran di lapangan bola, Juminten jatuh dan rok nya robek hingga
terlihat celana pendek olah raganya.
Sore tadi Juminten itu beradu pandang dengan Paijo, di
depan rumahnya. Rambutnya kumal, bajunya dekil, kotor. Paijo hanya sekilas
melihat Juminten, dia berjalan dengan cepat. Matanya mengarah ke segala penjuru
dengan penuh curiga.
Bakda Magrib, kampung Juminten kedatangan sepasukan
polisi yang bersenjata lengkap.
“Rumahnya yang berdinding kayu itu. Tim II maju dari
depan, Tim I bergerak dari samping. Hati – hati, buronan ini raja tega!”
“Satu, dua, tiga,,Majuuuu!” teriak seorang komandan
polisi kepada anggotanya. Sepasukan polisi itu menyeruak masuk ke rumah yang
menjadi target sasaran operasi mereka.
Dor! Dor!.....Dor!
Mereka mendobrak pintu kayu yang sudah rapuh itu. Dengan
sekali hentak, pintu kayu itu terlepas dari engselnya.
“Lapor Komandan, rumah itu sudah kosong. Tidak ada Raja
Tega di rumah itu.”
“Apa?!”
Dari pintu belakang rumah Juminten, Paijo berjalan
mengendap – endap menuju hutan kecil tempat dulu dia dan Juminten bermain bersama.
Sambil membawa bekal makanan pemberian Juminten.
“Geledah semua rumah
disini!” teriak komandan pasukan itu
for mq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar