Pages

Cari

Rabu, 18 Maret 2015

Antara Stasiun Tugu dan Stasiun Kota Baru


Jarum jam menunjukkan pukul 06.45 pagi. Lobi  Stasiun  Tugu Yogyakarta sudah ramai dengan calon penumpang dan para pengantar . Di depan printer untuk mencetak tiket ada lima orang yang sedang mengantre. Seorang bule perempuan asik nglesot bersandarkan pilar lobi yang besar. Di dekatnya dua ransel besar tergeletak, di depan loket seorang cowok bule sedang antre membeli tiket. Cleaning Service dengan telaten menyapu lantai sampai ke kolong – kolong kursi. Para bapak – bapak penjual jasa tenaga menawarkan tenaganya untuk membawakan barang bawaan para penumpang.


Bergegas saya menuju mesin printer untuk mencetak tiga tiket Malioboro Ekspres tujuan Yogyakarta – Malang. Mama R dan Adek Jiddan  masih asik mengobrol dengan Mbak Ndari, Ayunda dan Mas Nono. Ini adalah kali pertama Mama R dan Adek Jiddan bersilaturahmi ke keluarga Mas Nono. Setelah semua dirasa tidak ada masalah, Mas Nono dan keluarga berpamitan pulang ke rumah karena nanti siang harus mengantarkan Ayunda ke Bandara Adi Sumarmo  yang akan kembali ke tempat kerjanya di Jakarta.

Sepeninggal Mas Nono dan keluarga, kami segera masuk ruang peron Stasiun Tugu. Dibanding dengan peron di Stasiun Kota Baru Malang, menurut saya  sedikit lebih besar Tugu. Ada lebih dua cafe sebagai ruang tunggu mahal. Lebih dari satu toko yang menjual jajanan ataupun oleh – oleh. Sayangnya toiletnya masih kalah dibandingkan di Stasiun Kota Baru Malang.

Kali ini kami mencoba perjalanan pagi hari. Kalau logikanya kami akan melihat banyak pemandangan menarik. Adek Jiddan sangat antusias sekali melakukan perjalanan pagi hari ini.

Seperti biasa, kedatangan kereta tidak sesuai dengan jadwal yang tertera di papan elektronik. Mundur setengan jam adalah suatu hal yang sangat bisa diterima oleh kami dan para calon penumpang lainnya. Karena kami dan kereta api adalah saudara, lahir di tanah yang sama. Sama – sama penyuka jam karet.

Petugas kereta api pun meniupkan peluit sebagai tanda kereta boleh meninggalkan Stasiun Tugu Yogyakarta. Pelan – pelan Malioboro Ekspres menembus kota Yogyakarta, melambaikan tangan kepada penduduk Yogyakarta yang pada baru bangun tidur, ada juga yang sudah berolah raga di minggu pagi. Semakin lama kereta  melaju memburu waktu.

Mama R dan Adek Jiddan duduk dikursi depan saya, disamping saya duduk seorang pemuda berkulit hitam manis.  “Tadi itu diantar bapaknya mas,” saya mencoba membuka pembicaraan dengan teman  duduk saya tadi.

“Iya om,” jawab nya pendek.

“Kuliah dimana?”

“Sanata Dharma om, akuntansi.”

“Dalam rangka apa ke Malang,”

“Cuti om.”

“Weh, ini pasti cuti menghamili nih.” Pemuda tersebut hanya tersenyum malu – malu.

Adek Jiddan terlihat asik menikmati pemandangan dari balik jendela kereta. Tak henti – hentinya Ia bertanya ini – itu. Wajah Mama R terlihat lelah meladeni pertanyaan – pertanyaan khas bocah ndeso.

Dibelakang kami duduk seorang cewek bule berkulit hitam dan seorang cowok bule berkacamata minus, mereka asik ngobrol dengan bahasa Inggris. Was wis wus wes wos, endeswa endeswo endeswi endeswu.

“Supini karo Kang Ngadi iku ngomong opo sih Yah,” tanya Mama R yang kebribenan dengan suara pembicaraan dua bule tersebut.

“Paling ngomongke tanduran sing arep panen ning ndeso ne kono,” jawab saya sekenanya saja.

Di deretan kursi  seberang kiri deretan kursi saya, ada tiga cewek berjilbab dan seorang cowok dengan postur tinggi besar, tangannya penuh dengan tatto warna – warni.

Kereta melaju maju, memasuki kota demi kota dan bergegas meninggalkan kota demi kota pula. Penumpang silih berganti duduk manis di gerbong – gerbong bersih nan terurus.

“Sebentar lagi sampai nih om, “ sapa cowok bertatto itu  membuyarkan lamunan saya.

“Eh, iya. Turun Kota Baru juga?”

“Iya om, ini mau anter istri saya ke rumah Malang.”

“Loh kenapa? Bau – baunya pulangkan saja aku pada ayah ibumu nih....Sik sik sik...ada bekas tanda di pipinya gak?”

Cowok bertatto dan cewek berjilbab itu tertawa ngakak.

“Rapper ya mas?” tanya saya lagi.

“Bukan om, saya buka usaha resto mie pedes om di jalan ini. Mampir om kalau ke Jogja lagi.”

“Siap Mas, eh maaf ya Mas, tadi saya pikir sampeyan itu garang, sangar. Eh ternyata berhati Rinto.”

Menjelang Magrib, kereta Maliboro Ekspres memasuki Stasiun Kota Baru Malang. Penumpang sudah bersiap –siap turun dengan membawa barang bawaan mereka.

“Supini karo Ngadi iku nggak di kandani yen wis tekan Malang to Yah?” kata Mama R.

“Saya sudah tahu, saya sudah sering ke Malang Bu,” jawab cowok bule tersebut dengan kalemnya.

Hahhhhh???!!!


Moral dari cerita tersebut diatas adalah ngobrollah dengan teman seperjalanan anda jangan cuman mantengin gadget.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar