Jarum jam menunjukkan pukul 06.45 pagi. Lobi Stasiun Tugu Yogyakarta sudah ramai dengan calon
penumpang dan para pengantar . Di depan printer untuk mencetak tiket ada lima
orang yang sedang mengantre. Seorang bule perempuan asik nglesot bersandarkan
pilar lobi yang besar. Di dekatnya dua ransel besar tergeletak, di depan loket
seorang cowok bule sedang antre membeli tiket. Cleaning Service dengan telaten
menyapu lantai sampai ke kolong – kolong kursi. Para bapak – bapak penjual jasa
tenaga menawarkan tenaganya untuk membawakan barang bawaan para penumpang.
Bergegas saya menuju mesin printer untuk mencetak tiga
tiket Malioboro Ekspres tujuan Yogyakarta – Malang. Mama R dan Adek Jiddan
masih asik mengobrol dengan Mbak Ndari, Ayunda dan Mas Nono. Ini adalah kali
pertama Mama R dan Adek Jiddan bersilaturahmi ke keluarga Mas Nono. Setelah semua
dirasa tidak ada masalah, Mas Nono dan keluarga berpamitan pulang ke rumah
karena nanti siang harus mengantarkan Ayunda ke Bandara Adi Sumarmo yang akan kembali ke tempat kerjanya di
Jakarta.
Sepeninggal Mas Nono dan keluarga, kami segera masuk
ruang peron Stasiun Tugu. Dibanding dengan peron di Stasiun Kota Baru Malang, menurut
saya sedikit lebih besar Tugu. Ada lebih
dua cafe sebagai ruang tunggu mahal. Lebih dari satu toko yang menjual jajanan
ataupun oleh – oleh. Sayangnya toiletnya masih kalah dibandingkan di Stasiun Kota Baru Malang.
Kali ini kami mencoba perjalanan pagi hari. Kalau
logikanya kami akan melihat banyak pemandangan menarik. Adek Jiddan sangat
antusias sekali melakukan perjalanan pagi hari ini.
Seperti biasa, kedatangan kereta tidak sesuai dengan
jadwal yang tertera di papan elektronik. Mundur setengan jam adalah suatu hal
yang sangat bisa diterima oleh kami dan para calon penumpang lainnya. Karena
kami dan kereta api adalah saudara, lahir di tanah yang sama. Sama – sama
penyuka jam karet.
Petugas kereta api pun meniupkan peluit sebagai tanda
kereta boleh meninggalkan Stasiun Tugu Yogyakarta. Pelan – pelan Malioboro
Ekspres menembus kota Yogyakarta, melambaikan tangan kepada penduduk Yogyakarta
yang pada baru bangun tidur, ada juga yang sudah berolah raga di minggu pagi.
Semakin lama kereta melaju memburu
waktu.
Mama R dan Adek Jiddan duduk dikursi depan saya, disamping
saya duduk seorang pemuda berkulit hitam manis. “Tadi itu diantar bapaknya mas,” saya mencoba membuka
pembicaraan dengan teman duduk saya
tadi.
“Iya om,” jawab nya pendek.
“Kuliah dimana?”
“Sanata Dharma om, akuntansi.”
“Dalam rangka apa ke Malang,”
“Cuti om.”
“Weh, ini pasti cuti menghamili nih.” Pemuda tersebut
hanya tersenyum malu – malu.
Adek Jiddan terlihat asik menikmati pemandangan
dari balik jendela kereta. Tak henti – hentinya Ia bertanya ini – itu. Wajah
Mama R terlihat lelah meladeni pertanyaan – pertanyaan khas bocah ndeso.
Dibelakang kami duduk seorang cewek bule berkulit hitam dan
seorang cowok bule berkacamata minus, mereka asik ngobrol dengan bahasa
Inggris. Was wis wus wes wos, endeswa endeswo endeswi endeswu.
“Supini
karo Kang Ngadi iku ngomong opo sih Yah,” tanya Mama R
yang kebribenan dengan suara
pembicaraan dua bule tersebut.
“Paling
ngomongke tanduran sing arep panen ning ndeso ne kono,”
jawab saya sekenanya saja.
Di deretan kursi
seberang kiri deretan kursi saya, ada tiga cewek berjilbab dan seorang
cowok dengan postur tinggi besar, tangannya penuh dengan tatto warna – warni.
Kereta melaju maju, memasuki kota demi kota dan bergegas meninggalkan kota demi kota pula. Penumpang silih berganti duduk manis di gerbong – gerbong bersih nan terurus.
“Sebentar lagi sampai nih om, “ sapa cowok bertatto
itu membuyarkan lamunan saya.
“Eh, iya. Turun Kota Baru juga?”
“Iya om, ini mau anter istri saya ke rumah Malang.”
“Loh kenapa? Bau – baunya pulangkan saja aku pada ayah
ibumu nih....Sik sik sik...ada bekas tanda di pipinya gak?”
Cowok bertatto dan cewek berjilbab itu tertawa ngakak.
“Rapper ya mas?” tanya saya lagi.
“Bukan om, saya buka usaha resto mie pedes om di jalan
ini. Mampir om kalau ke Jogja lagi.”
“Siap Mas, eh maaf
ya Mas, tadi saya pikir sampeyan itu garang, sangar. Eh ternyata berhati Rinto.”
Menjelang Magrib, kereta Maliboro Ekspres memasuki
Stasiun Kota Baru Malang. Penumpang sudah bersiap –siap turun dengan membawa
barang bawaan mereka.
“Supini
karo Ngadi iku nggak di kandani yen wis tekan Malang to Yah?”
kata Mama R.
“Saya sudah tahu, saya sudah sering ke Malang Bu,” jawab cowok bule
tersebut dengan kalemnya.
Hahhhhh???!!!
Moral dari cerita tersebut diatas adalah ngobrollah
dengan teman seperjalanan anda jangan cuman mantengin gadget.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar