“Wo, sini...Aku bawain makanan kesukaanmu,” kata Mi.
Mi berjalan mendekati Wo yang sedang asik bermain
layangan di pinggir lapangan, atau tepatnya adalah tanah lapang yang gersang akibat kemarau yang belum
diguyur hujan.
Mi ndeprok di dekat Wo, matanya mengikuti gerak langkah Wo. Tak sekejap pun dia melepaskan pandangan dari Wo.
Tidak jauh dari mereka, beberapa teman sebaya mereka juga
sedang asik membunuh waktu bermain layang – layang. Bermacam bentuk dan warna
layangan menghiasi langit sore kampung ndeso.
“Mi..bantu aku Mi....pegang kaleng ini,” teriak Wo.
Segesit tupai melompat. Mi segera mengambil alih kaleng
tempat benang yang dilempar oleh Wo, dan Wo selimpat kancil mengatur strategi
menghadapi serangan tak terduga kepada layang – layang nya. Kadang menarik benang
cepat, kadang mengulur sampai jauh, kadang berteriak keras sekali.
“Ayo Mi kita tarik ke belakang sambil lari ya....kamu
kuat kan?”
Mata Mi berbinar terang, ronanya mekar cerah, senyumnya merekah.
Berdua mereka menarik layang – layang itu mengitari lapangan berharap sangkutan itu mereka menangkan.
“Nduk, wis
surup..ayo mulih.”
Suara ibuknya Mi telah menghentikan langkah Mi dan Wo.
“Wo, aku pulang dulu ya sudah mau Magrib. Ini buat kamu,
ledre kesukaanmu.”
Mi pun berlari menjauh dari Wo, menuju panggilan ibuknya.
Wo hanya berdiri mematung, memandang punggung Mi. Sampai kemudian Mi berhenti,
dan menolehkan kepalanya ke belakang.
Magrib itu, langit jingga
di atas tanah lapang yang gersang itu hanya ada satu layang – layang berwarna
soklat ungu, dan di pinggir tanah lapang Wo sedang menikmati ledrenya Mi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar