Detak
jantung Mi berdegup keras. Aliran darahnya berpacu dengan hormon adrenalin yang
melesat ke seluruh otot di tubuhnya. Sorot matanya teduh mengarah ke satu sosok
di depannya. Secara tak sadar kedua tangannya mempermainkan sapu tangan warna
ungu, warna yang sangat cocok dengan suasana hatinya saat itu.
Wo
tak berani menatap mata Mi. Sesekali di arahkan pandangannya ke sepeda motor
matic hitamnya, kemudian beralih memandang langit malam yang gelap berhiaskan
sebuah bulan yang sedang ndadari dan
bertabur milyaran bintang berkelap – kelip genit. Style Wo yang selama ini wagu, ra mutu, sarap, mendadak hilang
lenyap melayang ke langit yang gelap.
Supermarket
kecil di ujung jalan itu pun mulai sepi pembeli. Dua laki – laki pramuniaga supermarket
itu mulai berbenah, merapikan barang – barang di toko, menghitung penjualan
mereka hari itu, dan kemudian bersiap – siap untuk memberikan hak tubuh
mereka beristirahat.
Di
pelataran parkiran masih terlihat sebuah sepeda motor matic hitam dan sebuah
mobil keluaran pabrikan Korea warna abu – abu metalik.
“Wo....masih
ingat aku Wo?” dengan mengumpulkan keberanian yang tersisa dan memusnahkan rasa
gengsinya, Mi mencoba mencairkan suasana.
“Pertanyaanmu
retoris. Bagaimana aku bisa melupakan perempuan kedua yang pernah aku kirimi
surat, setelah Sibuku?”
Mi
terdiam, Wo pun diam.
Mi
mencuri – curi pandang ke arah Wo.
“Wo
masih seperti dulu, wajahnya masih sumringah, sok ngalem, cerdas, masih terlihat bengal tapi gak neko – neko, cuman sekarang tambah seksi
dengan perut buncit dan berkaca mata,” gumam Mi dalam hati.
“Wo,
aku minta maaf atas kejadian dulu itu. Kita tidak pernah
tahu apakah kejadian yang dulu itu baik bagi kita ataukah malah sebaliknya. Aku
bersyukur kita masih diberikan kebetulan yang menakjubkan seperti ini. Menurutku,
lebih baik kita berprasangka baik saja sama Allah, kan kata mu Allah itu sesuai
persangkaan kita?”
Mata
Wo perlahan – lahan diarahkan ke mata Mi. Wo melihat mata yang teduh, tegas,
cerdas, sedikit genit, bengal. Masih mata yang membuat hati Wo semrepet.
Dari
jendela mobil abu – abu metalik itu muncul tiga kepala bocah yang lucu dan menggemaskan.
Mereka berteriak memanggil Mi.
“Ups..krucil
ku sudah memanggil – manggil tuh. Aku pamit dulu ya.”
“Oh
iya Wo, aku titip sesuatu yang paling berharga di kamu. Jagain ya, kalau
waktunya tiba, tolong kembalikan ke aku. Aku tunggu.”
Wo
melepaskan pandangan ke langit, bulan yang lagi ndadari malam itu adalah bulan terindah yang pernah dilihatnya. Milyaran
kelap – kelip genit bintang di langit adalah harapan yang harus di raihnya,
meskipun sulit tapi bukanlah sesuatu yang tidak mungkin.
Mensemogakan
ketidakmungkinan menjadi kemungkinan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar