Gerimis kecil sore itu mengiringi
saya dan Bal keluar dari tempat parkir sepeda Lapangan Argopuri, satu – satunya
lapangan badminton di kota kecamatan kami. Saya dan Bal tergabung dalam
satu klub badminton anak – anak yang
berlatih tiap Jumat siang sampai jam lima sore.
“Wo, tadi lihat wajah musuh
kita gak? Yang pas shuttlecock mu bergulir tipis di bibir net,” tanya Bal
sambil mengayuh sepeda Phoenix barunya.
“Iya, aku lihat. Wajah
mereka langsung pating kecumuk gak
karuan. Puas banget aku Bal. Eh, berarti
skor kita sekarang 1:3 ya. Lumayanlah pecah telur.”
Gerimis sore menjelang
Magrib itu membuat para pengendara motor maupun sepeda mengurungkan niat mereka
untuk keluar rumah. Becak pun tidak ada yang lalu – lalang karena para calon penumpang
lebih memilih menghangatkan diri di rumah bersama keluarga dengan ditemani kopi
atau teh panas yang manis dan kental.
Di atas aspal basah sore
menjelang Magrib itu hanya terlihat dua sepeda yang beriringan. Satu sepeda
Phoenix dan satu sepeda mini.
“Bal, nrabas belakang Pasar Kabangan saja ya, lebih cepat,” teriak saya
kepada Bal yang melaju di depan saya.
Sebelum Pasar Kabangan ada
sebuah jalan kearah barat menuju komplek perumahan yang jumlahnya tidak sampai
dua puluh rumah. Ujung dari jalan komplek itu adalah gang sebelah barat Pasar
Kabangan. Keuntungan lewat jalan komplek tersebut lebih cepat dan lebih aman
karena tidak berpapasan dengan mobil dan motor.
Gerimis semakin deras,
mendung tebal menambah gelap sore menjelang Magrib.
Dari arah belakang, saya
mendengar deru sebuah motor. Dua orang laki – laki dewasa berboncengan lewat
disamping saya.
Tiba – tiba pas di depan
langgar tua di pinggir pasar Kabangan, sepeda motor tersebut berhenti
menghadang kami berdua. Laki – laki yang dibonceng turun dan secara kasar merebut
sepeda Phoenixnya Bal. Tarik menarik Bal dan laki – laki dewasa itu terlihat
tidak seimbang.
“Tulung..tulungg....ono
kecuuu....tulunggg...kecccuuu,” dengan perpaduan takut dan
mewek, saya berteriak sekencang – kencangnya.
“Ndladug, ayo cepetan. Keburu ada orang!” kata laki –laki yang
membonceng kepada temannya yang sedang berusaha merampas sepedanya Bal.
Dengan mengumpulkan sisa –
sisa keberanian, saya kayuh sekuat tenaga sepeda mini saya kearah laki – laki
yang sedang berusaha merampas sepeda Bal.
Gubrakk...
Laki – laki yang sedang
tarik menarik dengan Bal jatuh tertindih saya dan sepeda mini saya.
“Gobloggg, sama bocah saja
kalah. Cepetan nyengklak!” umpat laki
–laki yang berjaga – jaga diatas motor.
Breemmm...
Secepat kilat kedua kecu itu memacu motornya kearah timur.
"Kamu gak apa – apa Wo?”
“Stang sepedaku bengkong
Bal, tapi gak apa – apa. Eh, Bal..tadi misalkan kecu –kecu masih ngeyil mau aku lempari pakai batu loh.”
“Haiyak..lambe mu Wo.”
pating kecumuk = dalam keadaan kacau
nrabas = potong kompas
kecu = sebangsa begal
ndladug = umpatan khas orang Solo
nyengklak = membonceng dengan melompat
stang = stir sepeda
bengkong
= bengkok
lambe = bibir
ngeyil = pantang menyerah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar