Assalamu’alaikum Mi...
Apa kabar Mi? Semoga kamu sehat wal afiat di sana
sebagaimana aku disini. Kalau tidak salah hitung, sudah empat purnama kita
tidak berjumpa secara wujud. Hanya ndleminganku ini yang sangat beruntung bisa
menemui mu secara nyata. Ndleminganku ini mungkin sudah ke sepuluh di empat purnama
ini, atau mungkin yang ke dua belas? Ah entahlah, aku hanya berharap semoga
saja kamu tidak bosan membaca ndleminganku yang wagu, ra mutu, lebay.
Oh ya Mi, kali ini aku tidak akan bahas masalah hubungan
kita. Karena hubungan kita sudah sangat jelas. Sejelas matahari yang bersinar
di siang hari.
Kali ini aku akan bercerita tentang tiga orang biasa yang
pernah aku temui. Seandainya kamu tidak suka pun, tidak apa – apa. Ketidaksukaanmu
atas isi ndleminganku ini tidak akan merubah penilaianku kepadamu.
+++
Bapak Tua ini sering aku temui di perempatan jalan
protokol, di bawah flyover. Aku yakin dia sudah lama meninggalkan dunia hitam,
itu terlihat dari rambutnya yang persis seperti Pak Hatta Rajasa. Jemarinya
tidak pernah lepas dari batang rokok dan dari mulutnya selalu mengeluarkan
asap. Ketika dia berbicara, terlihat giginya sudah tidak lengkap lagi. Menurut
perkiraanku usianya sudah kepala tujuh.
Setiap aku sampai di bawah flyover habis subuh, menunggu
bis yang akan mengantarkankan aku ke tempat kerja, Bapak itu sudah stand by di
situ. Setiap ada bis yang datang, dia akan berteriak kepada para calon
penumpang yang bergerombol di bawah flyover memberitahukan kemana jurusan bis tersebut. Dari jasa nya
tersebut, dia mendapatkan uang sekedarnya
dari para kernet yang merasa terbantu dengan jasanya. Atau mungkin
merasa kasihan. Entahlah.
Pagi itu, bis yang biasa aku tumpangi tidak kunjung
datang.
“Kayaknya Tentrem yang jam 05.10 rusak mas. Tunggu Tokyo
saja.”
“Oh iya Pak ? Wah alamat terlambat nih saya Pak.”
Oh iya Mi, aku kasih tahu kamu ya, Tentrem dan Tokyo
adalah beberapa nama bis yang menguasai jalanan antar kota di sini. Sopirnya
seangkatan sama Ananda Mikola, nekatnya melebihi Schumachel. Jiyaannnnn, aku yakin
kamu akan sport jantung kalau duduk di belakang Pak Sopir yang sedang bekerja
mengedalikan bisnya.
Aku tahu Mi, kamu pasti mau menanyakan dimana rumah Bapak
Tua itu, dengan siapa dia tinggal, dimana anak – anaknya?...Aku bisa
membayangkan kok antusiasnya kamu dengan cerita ku ini. Dengan mata yang pating plorok, bicara cepat yang tidak
bisa dihentikan, tangan yang bergerak kesana kemari. Wis, pokoknya ngangeni bingits.
Mi, menurut cerita Bapak tua itu, dia hanya tinggal
bersama istrinya. Dia mempunyai tujuh anak
semuanya sudah berkeluarga dan tinggal di luar kota. Sebenarnya, anak –
anaknya tidak membolehkan dia bekerja seperti itu. Mereka itu lo, tiap bulan
mengirimi uang untuk kebutuhan Bapak Tua itu dan istrinya, tapi Bapak Tua itu
gak kerasan kalau hanya ongkang – ongkang di rumah. “Sakit semua,” katanya.
Tahu gak Mi, anak – anak mereka itu sarjana semua lo.
Beberapa ada yang bekerja di Bea Cukai. Terus terang aku gak menyangka dengan
cerita Bapak Tua itu. Lebih gak menyangka lagi pada waktu dia bercerita sudah
dua kali naik haji. Masya Allah...
Usut – punya usut, dia dulu adalah pegawai di kantor
bupati Sidoarjo, sebagai ajudannya Pak Bupati. Ibadah haji yang pertama karena
diajak Pak Bupati, haji yang kali kedua atas jerih payahnya sendiri.
Mi, sebenarnya ada satu lagi yang dia ceritakan tentang
hal – hal yang berkaitan pekerjaan yang dia kerjakan saat ini. Pekerjaan
jalanan dengan konsekuensi akan selalu berhubungan dengan Bapak Petugas. Tapi
menurutku, cerita tersebut perlu aku klarifikasikan dulu dengan Bapak Petugas.
Takutnya kalau aku cerita ke kamu tapi ternyata cerita Bapak Tua tersebut tidak
diakui oleh Bapak Petugas, aku kan bisa dituntut menyebarkan berita bohong.
Biarlah nanti pas aku dan kamu ketemu secara wujud, aku beberkan semuanya.
Mi, pas aku wasap
kamu, dia sekilas melirik ke tanganku. Tahu – tahu dia ngomong begini,” Melihat
garis tangan Sampeyan tadi itu, Sampeyan orangnya begini, begini, begitu, begitu.”
Weh, sok tahu banget dia. Memang ada satu dua hal yang
benar tebakannya. Salah satu tebakannya, dia bilang kalau aku pinter. Itukan
terlalu umum banget, gak usah jadi peramal pun bisa menebak itu.
He he he...Kamu pasti bilang “Nganyelke tenan ig...”
Mi, aku kok wis ngantuk ki.
Aku sudahin dulu cerita tentang orang biasa yang pertama. Besok aku lanjutin
orang yang ke dua dan ke tiga.
Oh iya Mi, nama Bapak Tua
itu Haji Hasan.
Wassalamu’alaikum, Mi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar