Temaram senja yang basah, rintik hujan masih setia menyambangi
bumi.
Turun dari angkot itu, aku segera berlari menuju Masjid
Khodijah. Aku tutupi kepalaku dengan tas kerja berbahan kalep atau kulit imitasi
murahan. Baju dan celanaku basah, juga
tas kerjaku. Alhamdulillah, kepalaku hanya sedikit basah.
Di emperan masjid ada beberapa orang tua dan anak muda
yang duduk menunggu hujan reda. Ada yang ngobrol, ada yang sibuk dengan
hapenya. Aku taruh tas kerjaku di loker masjid, kemudian aku bergegas mengambil
air wudlu. Waktu Asar hampir habis.
Pada saat tahiyat terakhir kepalaku menoleh ke kiri,
sekelebat aku melihat ada seorang laki-laki dibalik pilar masjid yang jaraknya
hanya satu sajadah dari tempat aku sholat. Setelah sholat Asar, aku teruskan
dengan wiridan dan berdoa.
Ditengah aku sedang mencoba khusuk berdoa, tiba–tiba lak–laki
yang duduk dibalik pilar itu datang mendekatiku. Dia duduk di sebelah kiriku.
“Maaf Pak, saya mau minta bantuan,” dia berkata begitu
tanpa mengindahkan aku yang sedang mencoba khusuk berdoa.
“Apa sih orang ini, gak lihat orang lagi berdoa apa,”
gumamku dalam hati.
“Saya datang dari Tuban, Pak. Saya tidak minta bantuan
uang.”
Aku hentikan berdoaku. Aku menoleh ke dia. Rambutnya
keriting, badannya kurus dibalut kaos oblong warna coklat bulak, kepalanya
memakai kopiah model Ustad Arifin Ilham. Aku mengira umurnya sekitar 30an.
“Apa yang bisa aku
bantu, Mas?”
“Nama saya Khidir,
saya sudah empat bulan lebih mengembara ke beberapa kota. Saya memulai
perjalanan dari Langitan.”
“Ooo...La terus apa
yang bisa saya bantu, Mas?”
Mata Khidir berbinar,
mulutnya manyun, duduknya lebih tegak. Dia bercerita pada suatu hari pernah mengemukakan
keingingan kepada ibunya. Keinginan untuk menjadi orang yang lebih berguna bagi
sesama. Kemudian oleh ibunya diberikan petuah, agar keinginannya bisa
terlaksana, dia disarankan untuk meminta doa kepada 41 orang.
“Mohon dengan sangat
Pak, sehabis sholat tolong doakan saya Pak.”
“Eh, gini aja Mas.
Mari kita berdoa bareng, semoga apa yang mas dan aku inginkan di dengar Allah
dan dikabulkan sesegera mungkin, serta berkah bagi kita.”
Maka aku pun dengan
gaya sok khusuk memimpin doa.
“Terus, malam ini Mas
mau kemana lagi ni?”
“Saya mau cari kerja
Pak, kerja apa saja. Buat bekal besok.”
“Besok mau ke mana
Mas?”
“Tergantung bisikan
nanti malam Pak.”
“Gitu ya? Oh iya Mas,
aku orang ke berapa ni?”
“Bapak orang ke 35,
masih kurang enam orang lagi.”
“Mas kok bisa milih
saya?”
Bibirnya terlihat
agak melebar sedikit, persis senyum Monalisa yang penuh misteri. Dia ambil Al
Quran yang tadi dia letakkan di atas ransel kumalnya, kemudian melanjutkan
membaca Al Quran. Terdengar pelan bacaan Al Quran yang syahdu.
Aku berlari menyusuri
jalanan yang basah, rintik hujan mengenai baju, celana, tas kerja. Sesegera
mungkin aku pingin sampai di kos untuk istirahat.
Eh sebentar...Khidir?
Mengembara? Minta bantuan doa?
Jangan – jangan dia.......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar