Wo menyandarkan sepeda mininya ke pohon jambu kluthuk
yang ada di samping rumahnya. Kemudian langkah kecilnya bergerak cepat menuju
ruang tengah. Sibu telah menunggunya.
“Le, ati – ati ya. Jangan nengah – nengah, di lajur kiri saja. Jangan gojekan sepanjang jalan, bahaya. Kalau mau nyebrang lihat kiri
kanan dulu. Ini Sibu sangoni lima arem – arem kesukaanmu dan teh hangat,” tangan
kanan Wo mencium tangan kanan Sibunya. Dimasukkannya
arem – arem dan toples yang berisi teh hangat ke dalam tas sekolahnya
Kaki Wo mengayuh pedal sepeda sekuat tenaga. Pagi itu dia
ada janji bertemu di depan sekolahnya dengan Gung, teman satu kelasnya. Mereka
berdua mau padusan ke Pengging. Wo
clingak – clinguk di depan sekolahan, tidak ditemuinya Gung. Sepi.
Sayup terdengar kriuk, kriuk, kriuk.....Panggilan dari
perutnya begitu menyayat hati, menghiba – hiba untuk sudilah kiranya memberikan
asupan bergizi sebagai sumber tenaga pagi hari ini. Tak kuasa hati Wo mendengar
panggilan dari perutnya, dari dalam
tasnya dia keluarkan sepotong arem – arem.
Mak nyus.....
“Wooo......,” tak asing lagi ini adalah suara Gung.
“Sori Wo, ban ku mbledos
je, nyari tambal ban susah banget. Belum ada yang buka. Untung tadi ada tukang
tambal ban yang baik hati, meskipun tutup, mau nolong aku.”
“Itu karena wajahmu melasi
sih Gung, ya wis ayo kita kemon.”
“Wuasem ig..Ngenyik kowe Wo.”
Berdua mereka menyusuri jalan raya yang masih sepi. Saling
memacu sepeda, zig zag bak pengendara moge. Sedikit beratraksi dengan melepas stang sepeda, kedua tangan direntangkan.
Tiba – tiba pada saat melewati belokan...
Pritttt..prriitttttt.....
Seorang Polisi Pamong Praja berperawakan gendut berdiri di
tengah jalan, tangan kirinya memegang sempritan dan tangan kanannya memberikan
aba – aba kepada Wo dan Gung untuk berhenti di pinggir jalan.
“Waduh, cegatan
plombir ki Wo,” suara Gung bergetar.
“Gung, gak usah berhenti. Ngebut saja, aku lewat sebelah
kiri kamu sebelah kanan. Allahu Akbarrrrr......”
Dua sepeda mini itu membentuk sebuah formasi seperti anak
panah yang melesat dari busurnya. Dan pada saat mendekati titik sasaran, anak
panah tersebut membelah diri menjadi dua, satu ke kiri dan satu ke kanan.
Wussss....
Gubrak....Gubrak.
Sayangnya, anak panah yang membelah diri menjadi dua
tersebut tidak sukses melewati titik sasaran. Mereka berdua terjerembab di galengan sawah.
"Ha ha ha,,,,,,Jyaaaaannnnnn bocah - bocah wagu, la wong disuruh minggir kok malah ngeyil, " kata seorang laki - laki berperawakan tegap, yang sudah tidak asing lagi bagi Gung.
Mata Gung berbinar - binar, mulutnya melongo, lima detik kemudian kedua tangannya diayun - ayunkan ke atas dan kebawah berbarengan dengan kedua kakinya yang lonjak - lonjak.
"Pak e, pak e, pak e...." teriak Gung.
"Weih heibat kowe Gung, arep padusan wae di kawal Paspampres."
"Wuasem ig, ngenyik lagi kowe Wo."
Mata Gung berbinar - binar, mulutnya melongo, lima detik kemudian kedua tangannya diayun - ayunkan ke atas dan kebawah berbarengan dengan kedua kakinya yang lonjak - lonjak.
"Pak e, pak e, pak e...." teriak Gung.
"Weih heibat kowe Gung, arep padusan wae di kawal Paspampres."
"Wuasem ig, ngenyik lagi kowe Wo."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar