Jam sembilan pagi kurang lima menit, Wito sudah menunggu
di ruang tunggu BPR Kita. Satu – satunya BPR yang ada di kota kecamatan di
selatan kota Malang. Di depan ada seorang security, laki – laki muda bersih
tegap, yang sibuk dengan ponsel android lokalan. Di bagian teller, ada seorang
perempuan muda. Di sebelah teller ada ruangan tersendiri, mungkin ruangan bos BPR
itu, masih kosong. Satu dua orang pegawai mulai berdatangan.
Dengan langkah malu – malu, Wito mendatangi meja teller.
Seorang wanita muda berdiri dan tersenyum manis menyambutnya. Dengan santun wanita
muda itu mengulurkan tangannya, mengajak Wito berjabat tangan. Wito terlihat
teramat kikuk, seumur hidup baru kali ini ada seorang perempuan muda cantik
yang mengajaknya berjabat tangan. Ragu – ragu diulurkan tangannya kepada
perempuan muda itu.
Perempuan muda itu melihat Wito dari ujung kaki sampai
ujung kepala. Dengan setengah hati dia mengulurkan tangannya dan memperkenalkan
dirinya serta menawarkan bantuan kepada Wito
Wito menjabat erat tangan teller itu, matanya melotot
hampir jatuh memandangi wajah teller itu. Tak sepatah katapun terucap dari mulutnya
yang menganga.
“Bapak saya sakit
keras. Sudah tiga bulan ini beliau hanya berbaring di tempat tidur. Kami tidak
punya uang untuk membawanya ke rumah sakit. Yang kami punya hanya sepetak
sawah. Kata orang – orang , tempat mbak ini bisa memberi pinjaman uang dengan
jaminan sawah kami.”
Dari dalam tas ransel doreng lusuh, Wito mengeluarkan
selembar foto yang sudah buram, foto seorang laki – laki muda kerempeng dengan
pakaian tentara yang kebesaran.
“Bapak saya ini dulu ikut dalam Serangan Umum 1 Maret di
Jogja, Mbak. Satu pasukan dengan Pak Harto.” Kata Wito dengan bangganya.
“Dan ini surat tanah kami, Mbak.”
Kemudian dikeluarkannya selembar kertas yang bertuliskan
Petok D.
“Maaf Bapak, pinjaman yang kita berikan hanya untuk para
pengusaha. Belum ada program pinjaman untuk orang sakit. Mungkin Bapak bisa
minta bantuan ke kelurahan, kecamatan, rumah sakit pemerintah agar mendapatkan
keringanan pembiayaan.”
Wito diam, matanya menatap tajam mata teller itu. Secepat
kilat tangan kanan Wito mencengkeram krah baju teller itu. Wajah teller sangat
ketakutan dan kesakitan karena lehernya tercekik krah bajunya sendiri.
“Tunjukkan dimana tempat penyimpanan uang!” kata Wito
lirih.
Dibawah todongan pisau di pinggangnya dan leher yang
tercekik krah baju, teller itu melangkahkan kakinya menuju tempat penyimpanan
uang di ruangan bos nya. Di pojok ruangan ada sebuah lemari besi setinggi satu
meteran. Mata Wito berbinar terang, bayangan ribuan lembar kertas uang berjejal
di benaknya.
“Buka lemari itu!!” perintah Wito.
“Kuncinya ada di bos saya,” jawab teller dengan gemetar.
Wito mengeluarkan ponselnya dan mengirim sebuah pesan.
“Pak, segera kirim dinamit satu biji untuk membuka lemari
besi.”
Tittt...titttt...titttt. Sebuah pesan pendek masuk di
ponsel seorang lelaki yang tua tapi masih terlihat tegap, memakai kaos hitam.
Matanya sedang mengawasi ke sebuah monitor laptop.
“Bodoh kamu Wito, kalau kamu ledakkan bisa hangus semua uang
nya.”
Lelaki itu menekan sebuah tombol di laptopnya, muncullah
gambar profil para player.
“Aku pilih Wagiman saja, sepertinya dia lebih cerdas dan licik dibanding Wito.”
Blep.
Di layar monitor laptop
terlihat Wagiman naik mobil dengan menenteng senjata laras panjang menuju
sebuah bank besar di tengah kota.
Foto koleksi Abenk. Thanks Bro.
Foto koleksi Abenk. Thanks Bro.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar