Dua cangkir kopi hitam
pahit, Ibu letakkan di meja ruang tamu.
“Monggo diminum kopi
pahitnya Pak Wedi,” kata Bapak.
Segera mulut Pak Wedi
menyesap kopi hitam pahit bikinan Ibu. Kumisnya yang tebal, basah oleh kopi.
Mata Pak Wedi membelalak merasakan sesuatu yang nendang di kerongkongannya.
Pak Wedi mengeluarkan
stofmap biru dari dalam tas kulitnya. Dibukanya, sekilas terlihat tulisan Surat
Perjanjian.
Bapak menyalakan rokok
kreteknya, menghembuskan asapnya ke udara. Matanya menerawang kosong ke langit –
langit rumah.
Dengan gemetar, Bapak
menyerahkan sertipikat tanah kebun kopi warisan Mbah Kakung seluas 5 hektar
kepada Pak Wedi.
Bapak kalah dalam pemilihan
kepala desa.
Ibu menangis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar