Merantaulah,
dan akan kamu temukan sanak saudara, handai taulan, kawan yang baru sebagai
pengganti yang kamu tinggalkan.
Sewaktu anak saya yang
mbarep kelas 6 SD, saya pernah menuliskan kata – kata itu di kamarnya. Maksud
saya sebagai motivasi kepada dia, karena rencananya setelah SD akan melanjutkan
mondok. Alhamdulillah diterima di Gontor Ponorogo setahun, setahun kemudian
dipindah ke Gontor Banyuwangi. Tahun ke tiga, karena sesuatu hal pindah ke
pondok di Malang sampai sekarang.
Berhati – hatilah dengan
kata – kata, karena kata – kata adalah doa. Begitu kata para bijak bestari.
Beberapa tahun kemudian,kata
– kata yang saya tuliskan itu berlaku kepada saya. Takdir mengharuskan saya
merantau ke Ternate. Negeri yang saya kenal dari buku sejarah sejak saya SD.
Enam bulan belakangan ini
saya mencoba belajar di beberapa
komunitas di wilayah Maluku Utara, yang dimotori oleh para anak muda. Mereka
adalah anak – anak muda yang berpikiran positif, yang mencintai negeri dan
bangsa ini dengan cara mereka sendiri. Awal Februari 2017 saya ikut kegiatan
Kelas Inspirasi Halmahera Selatan yang dimotori oleh para Pemuda Penggerak Desa
Halmahera Selatan. ( Cerita pengalaman saya bisa dibaca disini.) Berlanjut
dibulan April dan Mei 2017 saya ikutan kegiatan Traveling N Teaching yang
diadakan oleh komunitas 1000 Guru Maluku Utara. ( Ke dua pengalaman tersebut
bisa dibaca disini dan disini ).
Kegiatan – kegiatan positif
yang diprakarasai Pemuda Penggerak Desa Halmahera Selatan dan juga komunitas
1000 Guru Maluku Utara adalah sesuatu hal yang tidak lumrah. Mereka mengajak
orang yang profesinya bukan guru, mengajar secara suka rela di sekolahan dasar – sekolahan dasar pedalaman
Maluku Utara. Teknik mengajarnya pun tidak baku, diserahkan kepada kreativitas
para relawan.
Malam itu, bertempat di
pendopo Rumah Pisang Koloncucu milik Kak Maulana Ibrahim, seorang arsitek
pemerhati warisan budaya Ternate, berkumpullah anak – anak muda dari beberapa
komunitas yang sedang hits di Ternate. Ada yang dari Kelas Inspirasi Ternate,
ada yang dari 1000 Guru Maluku Utara, ada yang dari Ternate Heritage
Society,ada yang dari relawan guru bahasa asing. Candaan khas generasi gadget
saling serang diantara mereka, ditimpali tingkah konyol yang wagu ra mutu. Tuan
rumah pun dengan penuh pengertian mengalirkan kuliner khas Ternate serasa
aliran air yang tak putus. Air guraka, air pala, lapis Tidore, pisang goreng mulut bebek, dan masih banyak
lagi.
Diawali dengan nonton bareng
film pendek tentang keindahan kota Ternate, dilanjut dengan film pendek
Indonesia Bagus nya Net.tv episode Tidore dan Morotai. Kebetulan banget untuk
yang Indonesia Bagus episode Tidore, hostnya datang juga meskipun terlambat.
Nurul Asnawiah namanya, jojaru Mareku
dengan segudang prestasi dan juga sangat peduli dengan tanah kelahirannya.
Disusul dengan dua film pendek dari para sineas Ternate. Sayangnya tidak ada
yang hadir dari para sineas Ternate. Mungkin lain kali.
Acara berlanjut cerita oleh –
oleh dari Kak Pipit, ketua regional 1000 Guru Maluku Utara, yang baru pulang
dari Pulau Obi dalam rangka Kemah Persahabatan Anak. Kak Pipit diundang sebagai
pemateri Ruang Berbagi, berbagi ilmu dengan para guru. Ada satu cerita yang
saya tangkap yang begitu menyentuh perasaan siapa saja yang datang pada waktu
itu. Kak Pipit bercerita dengan mata mbrabak, ketika disana dia diharuskan
untuk memperagakan merayu pohon kelapa dan dia mau. Menyentuh sekali militansi
Kak Pipit ini.
Kemudian duo jojaru Mareku, Nurul Asnawiah dan
Sartika Mudrik berkisah dengan gaya khas generasi Z, tentang horisme kakek –
nenek Tidore pada saat pengibaran bendera Merah Putih tanggal 18 Agustus 1946.
Untuk diketahui, karena pada saat itu teknologi komunikasi masih sangat sangat
sangat terbatas, dan juga Belanda masih lumayan mencengkeram di wilayah Ternate
– Tidore, maka berita kemerdekaan Indonesia baru mereka terima setahun setelah
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Dan juga cerita mengenai nenek Amina Sabtu.
Beliau adalah Fatmawati nya Tidore, yang menjahit bendera Merah Putih dengan
serat nanas untuk dikibarkan di Tanjung Mareku. Sayangnya, bendera tersebut
tidak tentu rimbanya.
Tidak dinyana ternyata malam
itu cucu seorang pahlawan Ternate, Salim Fabanyo, ada juga diantara kita yaitu ngongare Ternate, Kak Prabowo,
koordinator Kelas Inspirasi Ternate. Ada tiga tokoh Ternate yang sangat
berperan pada masa itu, Yaitu Salim Fabanyo, dr. Chasan Boesierie, dan Sultan
Iskandar Muhammad Jabir Syah.
Penampil terakhir adalah Kak Iintomaito. Jojaru Ternate ini
keceh badeh juga. Dia bersama komunitasnya memberikan les bahasa asing gratis.
Ada enam bahasa asing yaitu Jerman, Inggris, Korea, Jepang, Belanda, Arab (
mohon dikoreksi kalau salah ). Sungguh mulia.
Wuihhh....hanya ada satu
kata untuk malam itu : ketjeh badeeeh cadas canu curap inspiratip gelo wagu ra
mutu baaaaaanggggg ssssssssss *&%tttttt. ( diucapkan dengan intonasi semakin
meninggi.)
Merantaulah,
maka akan kamu tabung rindu yang menggunung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar