Hae,
Lebaran telah menggerakkan
ribuan orang melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lainnya. Moda
transportasi darat – laut – udara penuh dengan ribuan penumpang.
Jalan raya seperti cat walk
panjang yang memamerkan segala bentuk dan tipe kendaraan. Ada yang roda dua,
tiga, empat, bahkan lebih.
Begitu juga dengan para
pemudik, ada beragam tipe mudikers. Mulai dari mudikers yang menstrim, seperti
mudik bareng bersama pabrik jamu Babon. Atau mudik swamandiri dengan bermodal
jempol. Alias nebeng siapa saja yang mau di tebengi, dan entah sampai ke
kampung halamannya lebaran taon kapan.
Ini adalah sebuah cerita
tipe mudikers yang laen.
Jadi ceritanya begini, teman
saya, sebut saja Fulan, bercerita kepada saya tentang pengalaman temannya,
sebut saja Serangga ( karena kalau saya sebut Kumbang kurang pecah ), pas mudik kemaren. Kebetulan saat ini Serangga
sedang ngenger di sebuah kantor, yang
katanya orang – orang sih kantornya agak bonapid, yang lokasinya ada di luar
Jawa. Tepatnya di suatu kota kecil yang terkenal dengan penghasil rempah –
rempah pada masa dahulu, di Propinsi Maluku Utara.
H minus 7, Serangga masih
belum beli tiket pulang ke kota S di Jawa . Ketika dia nge cek di Traploka,
harga tiket pesawat ke S sudah membumbung melewati ambang batas rupiah yang dia
punyai. Dia ingat petuah seorang temannya, bahwa harga tiket akan turun
menjelang hari H. Dia pegang petuah itu erat – erat. Hari – hari pun dia lalui
seperti biasa, apalagi masih ada bukber di kantornya.
H minus 5, 70% perantau
sudah meninggalkan kantor, ostosmastis bukber pun sudah gak ada lagi. Harga
tiket belum juga turun dengan signifikan. Teman – teman Serangga dengan massiv meng ap lod kegiatan mudik di kampung halaman
masing – masing. Mulailah Serangga galau. Duduk di kursi serasa tidur di atas
buah durian, tidur di kasur serasa duduk diatas air. Resah maksimal.
H minus 3 adalah hari
terakhir kantor buka, sebelum libur lebaran. Hanya ada dua perantau yang belum
mudik. Serangga dan temannya. Kebetulan temannya telah diperistri oleh orang
lokal, jadi gak terlalu galau seperti Serangga. Pagi – pagi Serangga nge cek di
Traploka, ternyata tiket pesawat ke S sudah habis. Makin uring – uringanlah
dia. “Kurang ajar petuahnya, ini tiket bener – bener turun dari Traploka.”
H minus 2, Serangga
membulatkan tekadnya untuk mudik, meskipun belum ada tiket pesawat di
tangannya. Sudah dua kali lebaran Serangga tidak bertemu dengan Anggrek
Bulannya. Lebaran ke tiga ini dia bertekad tidak ingin seperti Bang Toyib.
Jam enam pagi, dia sudah
duduk manis di ruang tunggu bandara. Baru ada dua cleaning service yang datang,
belum terlihat petugas bandara lainnya. Di landasan bandara tidak ada pesawat
sama sekali.
Jam sembilan pagi bandara
mulai ramai. Petugas mulai menjalankan tugasnya, satu dua pesawat mulai
mendarat, mudikers mulai memadati bandara.
Terlihat serombongan
mudikers, dari bahasa yang dipakai kelihatan banget Jawanya, terdiri dari
kakek, nenek, suami, istri, dan 5 anaknya sedang sibuk menata barang bawaan
mereka. Sepertinya trasmigran sukses yang membawa oleh – oleh untuk sanak
keluarga di Jawa.
Perlahan tapi pasti,
Serangga berjalan mendekati anak – anak transmigran yang lagi asik selfi.
Dilihatnya tas kepunyaan salah satu anak transmigran terbuka. Tiba – tiba petugas
bandara memberitahukan bahwa pesawat ke S sebentar lagi berangkat dan penumpang
diminta segera ke ruang tunggu di gate 4.
Berlarianlah keluarga transmigran tersebut menuju gate 4.
Berjam - jam yang membosankan berlalu sudah, hingga akhirnya mendaratlah
mereka di kota S. Sudah pasti senanglah hati mereka, karena akan berlebaran di
kampung halaman dengan keluarga tercinta.
“Mammaaa!!!” Tiba – tiba salah
seorang anak transmigran berteriak keras ketika dia membuka tasnya untuk
mengambil ponselnya.
“Oalah Nduk, iku mung coro.”
Serangga pun mudik dengan
sukses.
Pada hari H, Anggrek Bulan
dan Serangga minum orson di taman Sriwedari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar