![]() |
Sepanjang Jalan Satu Arah |
Hae,
Mudik Lebaran 2017 ke Rumah Laweyan
menyisakan banyak cerita yang berkesan bagi saya. Pasti begitu juga dengan
semua rakyat Indonesia , baik yang melaksanakan lebaran, simpatisannya, maupun
yang tidak melaksanakannya. Bagi yang belum ataupun tidak melaksanakannya,
semoga taon depan bisa melaksanakannya.
Rumah Laweyan, dengan segala
asesoris yang wagu dan sok nyeni, Alhamdulillah tetap menjadi tempat
berkumpulnya tujuh putra – putri Bapak dan Sibu ( minus Almarhum Mas Nono ),
menantu, dan cucu – cucu serta cicit beliau yang datang dari berbagai belahan
negeri. Ada yang dari Jakarta, Pekalongan, Jogja, Kartosuro, dan Malang.
Pada malam takbiran itu,
kami ngobrol ngalur – ngidul gak jelas. Ada yang bahas politik, ada yang bahas
pengajian wanita Ngaisiyah, ada yang bahas bumbu sambel tumpang. Sampai
akhirnya Bani, anaknya Mbak Dewi kakak saya nomor dua, cerita pengalamannya
sewaktu di Jerman. Dia diundang oleh Goethe Institute untuk membuat sebuah film
dokumenter karena pihak Goethe tertarik dengan film pendek karyanya yang
berjudul Sepanjang Jalan Satu Arah.
Nah ini...
Jujur ini adalah
sesuatu yang diluar akal sehat saya. Pertama, dalam sejarah keluarga kami
tidak ada yang berprofesi sebagai
seorang pembuat film. Yang ada adalah PNS dan wiraswasta. Ke dua, baru ada dua
orang di keluarga kami yang pergi ke luar negeri. Ke Makkah. Lah ini, Bani ke
Eropa gratisan.
Malam itu, kami mendapat
kehormatan nobar film Sepanjang Jalan Satu Arah bareng dengan sutradaranya
dan pemeran utamanya.
Narasi Mbak Dewi yang
menceritakan beberapa foto lawas yang warnanya sudah pudar kepada Bani adalah
sebagai pembuka film tersebut. Warna foto yang didominasi warna coklat,
cerita Aceh dan kondisi sedang mengandung Bani pada saat itu, mengingatkan saya
pada film G 30 S PKI era Pak Harto. Maksud saya, efek mencekamnya sama.
Film ini menceritakan satu
episode kecil di tahun 2015 pada saat pemilihan kepala daerah kota Solo. Dimana
salah seorang calon walikotanya non
muslim.
Mbak Dewi dan suaminya,
biasa saya panggil Bang Sap, mempunyai dua anak laki – laki. Yang sulung
bernama Iwan, sudah berkeluarga, yang bungsu bernama Bani. Keluarga ini adalah
keluarga aktipis semua organisasi ke Islaman. Mulai dari PII, Bulan Bintang, Muhammadiyah,
Aisiyah, Darul Arqom, Kataman, sampai FPI mereka ikuti semua. Otomatis dalam
pilkada 2015 mereka all out mendukung calon walikota yang beragama Islam.
Mbak Dewi dalam setiap acara
pertemuan dengan ibu – ibu di kampung Laweyan selalu mengingatkan untuk
mencoblos gambar calon walikota yang beragama Islam. Pun juga kepada suami dan
anak – anak, menantu, bahkan besannya. Yang paling sering diingatkan adalah
kepada Bani. Karena Bani adalah tipe anak muda jaman sekarang, mazhabnya agak
berbau golongan putih.
Secara orang awam, saya
melihat akting Mbak Dewi berperan sebagai Mama natural banget, mungkin karena memerankan dia sendiri, di rumah sendiri, lawan mainnya juga keluarga sendiri.
Adegan pada saat Mbak Dewi berjalan pulang dari TPS, menurut saya itu adegan
paling nelongso. Perasaan sedih, kecewa, marah dengan hasil penghitungan suara,
campur menjadi satu.
![]() |
Mbak Dewi |
Pesan yang saya tangkap dari
film berdurasi 16 menit ini, Bani telah berhasil memanfaatkan seluruh keluarganya dalam satu film
keluarga, yang mana film itu menang sebagai kategori Short Documentary di SeaShort
Film Festival Kuala Lumpur.
Selamat Ban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar