![]() |
Patung Tuanku Imam Bonjol di Pineleng, Manado. |
Sudah beberapa kali ketika
melewati jalan di daerah Pineleng Manado, arah ke Tomohon atau sebaliknya,
selalu melewati sebuah patung laki – laki dengan jubah putih, bersurban dan
berjanggut putih. Disitu ada tulisan Makam Tuanku Imam Bonjol. Tentu semua pasti
tahu siapa Tuanku Imam Bonjol itu.
Di era Orde Baru, semua anak
sekolah dasar pasti mengenal para pahlawan kemerdekaan. Sebagai contoh : Pangeran
Diponegoro dari Jawa Tengah, Panglima Polim dan Cut Nyak Dien dari Aceh, Sultan
Nuku dari Tidore, Sultan Babullah dari Ternate, Tuanku Imam Bonjol dari
Sumatera Barat, dan lain sebagainya. Kita juga tahu bahwa kolonial Belanda pada
saat itu sering menghukum para tokoh – tokoh pejuang yang berhasil ditangkap dengan
cara licik, dengan cara membuang mereka ke luar pulau.
Berdasarkan catatan sejarah,
Tuanku Imam Bonjol lahir di Bonjol, Sumatera Barat pada tahun 1772 dengan nama
Muhammad Shahab. Sependek ingatan saya tentang pelajaran sejarah waktu SD dulu,
beliau dengan gagah berani melakukan perlawanan terhadap kolonial Belanda pada
tahun 1821 sampai dengan 1837, yang terkenal dengan nama Perang Padri. Perang yang
memakan waktu hampir 16 tahun.
Pada tanggal 28 Oktober
1837, Tuanku Imam Bonjol berhasil di tangkap kolonial Belanda. Beliau diasingkan
ke Cianjur, kemudian ke Ambon, dan terakhir ke Sulawesi Utara sampai beliau
wafat tanggal 6 November 1864 pada usia 92 tahun. Kurang lebih selama 27 tahun
beliau tinggal di Desa Lotta, Sulawesi Utara.
![]() |
Rumah Adat Minangkabau di Komplek Makam Tuanku Imam Bonjol. |
Tempat peristirahatan
terakhir Tuanku Imam Bonjol terletak di Desa Lotta, Kecamatan Pineleng,
Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara. Makam Tuanku Imam Bonjol berada di
dalam bangunan yang berbentuk rumah adat Minangkabau. Di seberang makam Tuanku
Imam Bonjol ada sebuah komplek pemakaman dari keluarga Apolos Minggu. Apolos
Minggu ini adalah pengikut setia satu – satunya yang ikut Tuanku Imam Bonjol
dipengasingan. Tidak ada catatan sejarah mengapa Tuamku Imam Bonjol tidak
membawa keluarganya atau pengikut - pengikutnya ke pengasingan. Menurut
keterangan Pak Nurdin, generasi ke lima dari Apolos Minggu, bahwa Apolos ini
berasal dari Ambon menikah dengan gadis Minahasa yang bernama Mency Parengkuan.
Keluarga Apolos Minggu ini lah yang menjaga dan mengurus makam Tuanku Imam
Bonjol itu sampai sekarang.
![]() |
Makam Tuanku Imam Bonjol. |
Dibelakang makam Tuanku Imam
Bonjol terdapat jalan setapak ke bawah menuju sungai Malalayang, kurang lebih
sepanjang 65 meter atau sebanyak 80 anak tangga yang berkelak – kelok, terdapat
petilasan berupa batu besar tempat solatnya Tuanku Imam Bonjol. Batu tersebut
sekarang sudah berada di dalam sebuah bangunan yang difungsikan sebagai musola.
Dalam bayangan imajiner
saya, Tuanku Imam Bonjol ini adalah orang yang sangat terpelihara kesehatannya.
Coba bayangkan, di usia 65 tahun beliau diasingkan ke daerah Sulawesi Utara yang
mana pada saat itu pasti masih berupa hutan belantara hanya ditemani satu orang
pengikut setia. Tentu mereka berdua harus bekerja keras membuka hutan untuk
dipakai sebagai tempat tinggal, untuk bercocok tanam, berburu hewan, dan lain
sebagainya. Tidak mungkin kolonial Belanda menyiapkan segalanya hanya untuk dua
orang inlander. Untuk menunaikan
solat beliau harus turun ke pinggir sungai Malalayang sehari minimal lima kali.
Tentu butuh stamina yang kuat untuk melakukan itu semua. Selama ini yang
tergambarkan adalah orang tua yang sepertinya sakit – sakitan memakai jubah.
![]() |
Diatas batu ini Tuanku Imam Bonjol menunaikan solat. |
Saya tidak tahu apakah ada
catatan mengenai apa yang dilakukan Tuanku Imam Bonjol selama 27 tahun di
pengasingan. Mungkin saja di Belanda sana ada arsip catatan atau diary atau
blog mengenai hal tersebut.
Al Fatehah untuk para
pendiri bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar