Pages

Cari

Sabtu, 13 April 2019

Jejak Tuanku Imam Bonjol di Minahasa

Patung Tuanku Imam Bonjol di Pineleng, Manado.

Sudah beberapa kali ketika melewati jalan di daerah Pineleng Manado, arah ke Tomohon atau sebaliknya, selalu melewati sebuah patung laki – laki dengan jubah putih, bersurban dan berjanggut putih. Disitu ada tulisan Makam Tuanku Imam Bonjol. Tentu semua pasti tahu siapa Tuanku Imam Bonjol itu.


Di era Orde Baru, semua anak sekolah dasar pasti mengenal para pahlawan kemerdekaan. Sebagai contoh : Pangeran Diponegoro dari Jawa Tengah, Panglima Polim dan Cut Nyak Dien dari Aceh, Sultan Nuku dari Tidore, Sultan Babullah dari Ternate, Tuanku Imam Bonjol dari Sumatera Barat, dan lain sebagainya. Kita juga tahu bahwa kolonial Belanda pada saat itu sering menghukum para tokoh – tokoh pejuang yang berhasil ditangkap dengan cara licik, dengan cara membuang mereka ke luar pulau.

Berdasarkan catatan sejarah, Tuanku Imam Bonjol lahir di Bonjol, Sumatera Barat pada tahun 1772 dengan nama Muhammad Shahab. Sependek ingatan saya tentang pelajaran sejarah waktu SD dulu, beliau dengan gagah berani melakukan perlawanan terhadap kolonial Belanda pada tahun 1821 sampai dengan 1837, yang terkenal dengan nama Perang Padri. Perang yang memakan waktu hampir 16 tahun.

Pada tanggal 28 Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol berhasil di tangkap kolonial Belanda. Beliau diasingkan ke Cianjur, kemudian ke Ambon, dan terakhir ke Sulawesi Utara sampai beliau wafat tanggal 6 November 1864 pada usia 92 tahun. Kurang lebih selama 27 tahun beliau tinggal di Desa Lotta, Sulawesi Utara.

Rumah Adat Minangkabau di Komplek Makam Tuanku Imam Bonjol.

Tempat peristirahatan terakhir Tuanku Imam Bonjol terletak di Desa Lotta, Kecamatan Pineleng, Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara. Makam Tuanku Imam Bonjol berada di dalam bangunan yang berbentuk rumah adat Minangkabau. Di seberang makam Tuanku Imam Bonjol ada sebuah komplek pemakaman dari keluarga Apolos Minggu. Apolos Minggu ini adalah pengikut setia satu – satunya yang ikut Tuanku Imam Bonjol dipengasingan. Tidak ada catatan sejarah mengapa Tuamku Imam Bonjol tidak membawa keluarganya atau pengikut - pengikutnya ke pengasingan. Menurut keterangan Pak Nurdin, generasi ke lima dari Apolos Minggu, bahwa Apolos ini berasal dari Ambon menikah dengan gadis Minahasa yang bernama Mency Parengkuan. Keluarga Apolos Minggu ini lah yang menjaga dan mengurus makam Tuanku Imam Bonjol itu sampai sekarang.

Makam Tuanku Imam Bonjol.
Dibelakang makam Tuanku Imam Bonjol terdapat jalan setapak ke bawah menuju sungai Malalayang, kurang lebih sepanjang 65 meter atau sebanyak 80 anak tangga yang berkelak – kelok, terdapat petilasan berupa batu besar tempat solatnya Tuanku Imam Bonjol. Batu tersebut sekarang sudah berada di dalam sebuah bangunan yang difungsikan sebagai musola.

Dalam bayangan imajiner saya, Tuanku Imam Bonjol ini adalah orang yang sangat terpelihara kesehatannya. Coba bayangkan, di usia 65 tahun beliau diasingkan ke daerah Sulawesi Utara yang mana pada saat itu pasti masih berupa hutan belantara hanya ditemani satu orang pengikut setia. Tentu mereka berdua harus bekerja keras membuka hutan untuk dipakai sebagai tempat tinggal, untuk bercocok tanam, berburu hewan, dan lain sebagainya. Tidak mungkin kolonial Belanda menyiapkan segalanya hanya untuk dua orang inlander. Untuk menunaikan solat beliau harus turun ke pinggir sungai Malalayang sehari minimal lima kali. Tentu butuh stamina yang kuat untuk melakukan itu semua. Selama ini yang tergambarkan adalah orang tua yang sepertinya sakit – sakitan memakai jubah.

Diatas batu ini Tuanku Imam Bonjol menunaikan solat.
Saya tidak tahu apakah ada catatan mengenai apa yang dilakukan Tuanku Imam Bonjol selama 27 tahun di pengasingan. Mungkin saja di Belanda sana ada arsip catatan atau diary atau blog mengenai hal tersebut.


Al Fatehah untuk para pendiri bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar