Ada yang pernah ikutan demo gak?
Ketika saya kelas 2
SD, sekitar tahun 1980, ada demo anti Tionghoa di kota Solo. Mungkin tepatnya
bukan demo tapi kerusuhan. Seperti biasa kalau terjadi kerusuhan seperti itu
pasti ada perusakan dan penjarahan. Yang menjadi sasaran paling gampang adalah
toko – toko pinggir jalan. Untuk menghindarinya para pemilik toko tersebut
menulisi pintunya dengan tulisan MILIK
PRIBUMI. Untungnya para perusuh itu bukanlah warga kampung sekitar, sehingga
mereka tidak tahu mana yang pribumi asli dan mana yang pribumi keturunan.
Kemudian kuliah di
sebuah sekolah kedinasan milik salah satu departemen di republik +62, otomatis
demo adalah sesuatu yang tidak ada di kamus kita. Di era Pak Harto, kita
ngrasani Beliau aja gak berani. Gak tahu apakah karena aura Pak Harto yang
begitu dahsyatnya atau kita saja yang gak tahu apa – apa. Eh maaf, bukan kita
ding, tapi saya. Satu nama anak muda di masa itu yang terkenal sebagai
demonstran adalah Budiman Sudjatmiko.
Mengalami demo
bersejarah di tahun 1998. Pada waktu itu sudah menjadi buruh negara di Kota
Malang. Karena kantor kita berada di pusat kota, dan di alun – alun Malang
sudah penuh dengan massa, entah itu demonstran atau bukan, maka untuk
menghindari hal – hal yang tidak baik kantor dipulangkan lebih awal. Dengan
beberapa teman, saya berkeliling kota melihat demo di beberapa titik.
Mendengarkan orasi, salah satu tuntutan demonstran yaitu turunkan Pak Harto.
Ketika mereka pada teriak – teriak “Turunkan Pak Harto!”, kita menambahi satu
tuntutan lagi “Naikkan Gaji!”. Alhamdulillah tuntutan kita tersebut dipenuhi,
setelah menunggu dengan sabar selama beberapa tahun.
Dan sekarang yang
lagi trending topik demo hari Selasa 24 September 2019. Di beberapa daerah ada
seruan kepada para mahasiswa untuk meninggalkan kelas – kelas turun ke jalan,
dan kemudian diikuti oleh para anak STM. Gegara demo ini banyak muncul poster –
poster yang kata – katanya dibikin sok lucu, meme – meme sok kocak, dan Alhamdulillah pada mendadak dangdut membahas tentang KUHP. Mungkin ini yang dimaksud dengan kurikulum tematik.
Demonstrasi saat ini
masanya generasi Z. Generasi yang lahir pada tahun 1995 sampai dengan 2010.
Generasi yang sangat melek teknologi. Mungkin pada saat demo reformasi 1998
mereka baru lahir.
Informasi demo di
masa sekarang ini sangat cepat menyebar. Kalau di 1998 kita mendapat kabar demo
secara visual dari TVRI dan beberapa stasiun tv swasta saja, kalau sekarang
langsung dari demonstrannya. Lewat instastory, twitter, facebook, WA grup,
telegram, youtube.
Di WA grup yang saya
ikuti, ada postingan yang menyuruh anaknya ikut demo. Ada yang berandai – andai
kalau anaknya sudah mahasiswa pasti disuruhnya ikut demo juga, ada juga yang
diam saja. Itu saya itu. Para orang tua itu adalah generasi X yang tidak pernah
merasakan demo. Mereka kepingin demo tapi sudah bukan masanya, satu – satunya
cara ya melalui anaknya.
Memang sebenarnya
para generasi X ini punya banyak keresahan. Keresahan mereka jarang ter-ekspose
karena tertimbun oleh banyaknya kebutuhan yang silih berganti. Atau juga takut,
karena masih terbawa model era Orde Baru. Atau juga malu, sudah tua kok masih
resah la dulu ngapain saja.
Di dunia media sosial
untuk menyuarakan keresahan bisa memakai hashtag atau tagar atau pagar miring (
# ). Fungsinya untuk pengelompokan tema. Contohnya begini #nunggumutasi. Maka netizen yang mencari postingan mengenai tema
tersebut dengan mudah akan menemukannya. Kalau ada puluhan ribu orang yang
menggunakan hashtag tersebut maka akan menjadi trending topik. Contoh yang lain
misalkan #turunkanhargatiketpesawat.
Demo adalah salah
satu hak warga negara dalam kebebasan berpendapat, yang dijamin dalam Pasal 28
UUD 1945: kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan
dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang – Undang. Diatur dalam
UU No.9/1998.
Mari Cin ikut akika,
demo kecyantiqan.
Titip jejak mas
BalasHapusMatur thank you Suhu
Hapus