![]() |
Pit Onthel. Foto dari Google |
Kring Kring
Ada Sepeda
Sepedaku
roda tiga
Kudapat
dari ayah
Karena
rajin sekolah.
Lagu
diatas sangat hits di era tahun 80-an. Semua orang, mulai dari yang seusia TK
sampai para kakek nenek pasti hapal diluar kepala lagu yang diciptakan oleh Pak
Kasur tersebut. Pada zaman sekarang sepertinya sudah banyak yang tidak mengenal
lagu tersebut. Sudah berganti dengan Bicycle Race nya Queen. Eh, itu masih
jadul juga yak.
Seingat
saya, saya mulai bisa menaiki sepeda ketika saya kelas 3 SD. Entah saya diajari
siapa, tahu – tahu kok bisa. Sepeda saya adalah lungsuran, alias
bekasnya siapa saya juga lupa, yang pasti dibelikan Bapak. Modelnya sepeda jengki
cowok mini, remnya pake sandal, slebor depan belakang tidak ada. Itupun
dipakai berdua sama Mas saya, jadi sering rebutan. Seringnya saya yang kalah.
Dengan
jengki cowok mini tersebut, sudut – sudut Kampung Laweyan telah saya
tandai. Pemandian Pengging di Boyolali tak luput dari jelajah saya dan beberapa
teman SD, meskipun dengan drama cegatan plombir yang menguras uang sangu
buat padusan.
Merk sepeda
yang legendaris masa itu adalah Phoenix buatan RRC. Ada juga Jemboly.
Sepeda
menjadi moda transportasi utama saya sampai saya lulus SMA di tahun 1991.
Saya
pernah tinggal di Probolinggo tahun 2002 – 2004. Sepeda masih sangat merajai
jalanan di Probolinggo. Anak – anak sekolah, pegawai pabrik, masyarakat umum
sangat lumrah naik sepeda. Kalau malam minggu, di alun – alun Probolinggo
parkiran penuh dengan sepeda.
Pada pertengahan
tahun 2018, saya diberi kesempatan jadi EO dadakan buat beberapa senior alumni
STAN yang mau touring Ternate – Tidore dengan sepeda. Ketika menjemput mereka
di Sultan Baabullah, sepeda mereka dimasukkan dalam tas khusus yang keren. Setelah
sampai di hotel dan dibongkar, ternyata simple banget. Sepeda lipat, Brompton.
Dalam
hati kecil saya berteriak, “ Ini serius mau keliling Ternate – Tidore pake
sepeda anak – anak?”. Setelah ngobrol dengan mereka, baru tahu ternyata itu
sepeda muwahal ndesssssss.
Pada masa
pandemi sekarang ini, sepeda begitu boomingnya. Beberapa minggu ini setelah diberlakukannya
New Normal, CFD di Kawasan Megamas Manado dipenuhi dengan sepeda. Komunitas
sepeda dengan berbagai jersey ngejreng yang keren berseliweran di jalanan
Manado.
Kalau
saya googling, di beberapa negara Eropa booming sepeda dimasa pandemi ini
karena mereka memakai sepeda untuk menghindari transportasi massa yang bertemu
banyak orang. Di Inggris dan Prancis ada subsidi untuk warganya yang bike to
work.
Kemarin
saya bertemu seorang teman yang baru membeli sepeda lipat, yang katanya
harganya masih dalam ambang batas wajar, saya bertanya mengapa beralih cabang
olahraga sepeda.
“Ikutan
tren.” Jawabnya santai.
Menurut
Azrul Ananda, pemilik Wdnsdy Bike, sepeda saat ini belum bisa dikatakan tren.
Karena kalau tren itu harus diukur dalam jangka waktu tertentu. Sepeda saat ini
baru fad. Melonjak tinggi dengan cepat, kemudian menukik turun dengan cepat
juga. Spike.
Asshhh
mbuhlah. Selamat bersenandung "kring kring ada sepeda, sepedaku roda tiga,
kudapat dari ayah, karena rajin sekolah."
Tulisan yang ringan dan yang seru ! Favorite...
BalasHapusAku juga punya cerita tentang sepeda.Aku kasih judul apa ya..hmmm Judulnya " Ternyata Bukan Sepeda "
Selepas menyelesaikan pendidikan di sekolah kedinasan di Jakarta, aku ditempatkan kerja di Malang, Jawa Timur. Sebuah kota kecil yang indah dan sejuk. Impianku untuk tinggal di kota yang dikelilingi gunung, tercapai. Setiap bangun tidur pagi kupandangi Gunung Arjuno yang gagah, atau Gunung Kawi, Gunung Panderman atau Gunung Semeru yang selalu mengepul. Dari pertama menjejakan kaki di kota Malang, aku sudah menjadwalkan untuk mendaki semua gunung itu. Oh ya, aku bukan lagi cerita tentang gunung. Cerita gunung, nunggu inspirasi dari om Kancil aja nanti....
Nah, kemudian jadilah aku warga Malang. Kos di seputaran alun alun, tidak jauh dari kantor. Setiap pagi aku ke kantor berjalan kaki. Dengan jalan santai, aku tiba di kantor dalam 10 menit. Tahun 90an lalu lintas di Malang telatif masih lenggang. Nggak ada yang namanya macet. kesana kemari naik angkot juga masih nyaman.
Teman-teman kantor rata rata usianya jauh di atas aku. Yang paling mendkati, berjarak sekitar 5 tahun di atasku. Mereka kebanyakan warga asli Malang. Hanya ada beberapa yang dari luar kota, dan tinggal di rumah kos, seperti Aku.
Sebagai pendatang baru, tentu aku berusaha adaptasi dengan kehidupan kantor. Baik dalam bekerja, maupun kegiatan di luar kerja. Di luar kantor, aku berusaha nginthil salah seorang seniorku dalam berkegiatan. Tentu saja banyak hal hal baru Aku alami, salah satunya tentang sepeda.
Suatu hari, seniorku mengajak aku ikut kegiatan di Kampus Brawijaya selepas kantor.
"Ndra, yuk nanti pulang kantor ikut ke Unbraw ! Ada acara seru", Ajaknya.
"Boleh Mas ! Aku ikut aja", Jawabku dengan antusias.
Aku memang senang sekali bisa ikut berbagai kegiatan di Malang. Apalagi Aku masih belum punya banyak teman.
"Nanti aku jemput habis Isya ! Kamu gonceng aku naik sepeda aja ya ..", Lanjutnya menjelaskan.
"oke Mas !" seperti biasa aku menurut saja.
Setelah absen, aku bergegas pulang. Ada satu hal yang aku tak habis pikir. Setahuku Brawijaya cukup jauh dari alun alun, kenapa Mas Imam ngajak naik sepeda ya ? Kenaapa tidak naik motor, atau naik angkot ?. Pertanyaan yang tidak bisa aku jawab sendiri. Mungkin sekalian olah raga. atau ..? Kalaupun memang naik sepeda, aku harus tahu diri. Mosok aku yang gonceng. Aku kan lebih muda dan kuat. Sebaiknya aku yang ngayuh. Tapi apa aku kuat, kampus Brawijaya kan jauh. Jangan-jangan sepedanya onthel seperti sepeda mbahku di Jogja. Banyak hal yang aku lamunkan dari pulang kantor sampai masuk waktu Isya.
Ba'da Isya, Mas Imam ketok kamar kosku.
"Yuk Ndra, kita berangkat...!"
"Hayuk Mas, sepedanya mana..? Nanti aku aja yang mboncengi", usulku.
"Tuh, parkir di depan ! ", Jawab Mas Imam sembari menunjuk ke depan kos kosan yang penuh motor parkir. Setiap sore hari, tempat parkir penuh karena penghuni kos sudah pulang kantor.
Aku tengak tengok. Tidak kutemukan sepeda. Mas Imam langsung menuju ke sebuah motor yang parkir terpisah.
" Yuk, kita berangkat. supaya tidak terlambat !", Mas Imam setengah berteriak sambil menstater motor. Aku masih terbengong-bengong. Hilang sudah semua pertanyaan sore tadi.
Oohhh ternyata bukan sepeda, tapi sepeda motor. Tertawa terpingkal- pingkal Mas Imam ketika aku ceritakan.
" Di Malang, motor itu disebut sepeda. Kalau sepeda disebut sepeda pancal. Kalau mobil disebut montor ".
Indra Jabrix 11/7/20
terinspirasi dari kisah sepedanya Arief Kancil....
Wadadidaw......komen nya 500 kata. Ngwerih......Makasih Brik.
HapusOm Kancil menghitung jumlah kata,
BalasHapusHehehehe kalau di Bali (1995) motor apapun disebut nya Honda... Ibu kost nawarin, kalau mau jalan2 bisa pakai Honda ibu. Setelah dikasi kunci saya buka tutupnya (motor ditutup pakai kain). Ternyata yang ada motor bebek Yamaha.
Iya Bang. Keknya gak cuman di Bali, menggeneralisir merk tersebut. Seperti Sanyo utk semua pompa air. Makasih udah mampir Bang.
HapusIya Bang. Keknya gak cuman di Bali, menggeneralisir merk tersebut. Seperti Sanyo utk semua pompa air. Makasih udah mampir Bang.
HapusNumpang promo ya gan
BalasHapuskami dari agen judi terpercaya, 100% tanpa robot, dengan bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% segera di coba keberuntungan agan bersama dengan kami ditunggu ya di dewapk^^^ ;) ;) :*